Senin, 27 September 2010

Sejarah Koran oleh Luthfi Assyaukanie.

Luthfi Assyaukanie 



Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya
(ma' nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan
baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari
seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai
bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah
penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang
delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik,
dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah
sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia: ini didasarkan
pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak denga percetakan modern
dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu,
Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik
penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran
menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan
beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan
resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya
standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa
Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh
keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat
beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena
upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan
pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir
itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan
oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur
kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan
standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi
bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai
proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan
efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan
ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal
yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab
suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan
memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya
(kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi
membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan
menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah
Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran,
yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud
(entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh
mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran
(qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu
sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan
hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak
beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah,
dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.Edisi
Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini
muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat
dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa
itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau
kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu
standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan "Mushaf Uthmani,"
pada masa itu telah beredar puluhan --kalau buka ratusan-- mushaf yang
dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki
mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal
bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.

Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf
Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan
menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn
Mas'ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda
dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah
al-An'am, tapi surahYunus.

Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah
sebagai bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang menganggap surah "penting"
itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak
memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di
kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau
ia hanya merupakan "kata pengantar" saja yang esensinya bukanlah bagian
dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai
bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama
lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah
"ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi
popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.

Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: "siapa saja yang tidak memulai
sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka
pekerjaannya menjadi sia-sia."

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa
dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin
al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut:
"pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman
melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]."
Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka'b, sahabat Nabi yang
lain, yang didalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf
Uthman, yakni surah al-Khal' dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan
agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan
dimusnahkan.

Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi
sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku
'ulum al-Qur'an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru
dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa
puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar
dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori
mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak
dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan
yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian
bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan
ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya
mushaf-mushaf klasik itu.

Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan
hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H),
al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi
Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H)
sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam
karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf
al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10
mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi'in) sahabat Nabi.


Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa
mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak
sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah
mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada
otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas
itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya
varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu
umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan
kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian
muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat
(scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari') dari kata a-l-m
bisa dibaca yu'allimu, tu'allimu, atau nu'allimu atau juga menjadi
na'lamu, ta' lamu atau bi'ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna,
dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf
Ibn Mas'ud berulangkali menggunakan kata "arsyidna"
ketimbang "ihdina" (keduanya berarti "tunjuki kami") yang biasa
didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, "man" sebagai ganti "alladhi"
(keduanya berarti "siapa"). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan
arti yang berbeda, seperti "al-talaq" menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas),
"fas'au" menjadi "famdhu" (Ibn Mas'ud), "linuhyiya" menjadi "linunsyira"
(Talhah), dan sebagainya.


Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322
H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn
Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah
membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid
memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi
(Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah,
dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis
Nabi yang mengatakan bahwa "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf."

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya
telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih
sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang
sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn
Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena
adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn
Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah
membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini
diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14
varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu
varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan.
Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain,
tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku
studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.

***
Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya
paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif,
merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara
bebas.

Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau
dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan
masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya, dengan
menafsirkan hadis Nabi "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf" dengan cara
menafsirkan "huruf" sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan
seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa.

Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan
bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan
untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar.
Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi),
lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol
saja untuk menunjukkan "banyak," ini lebih parah lagi, karena menyangkut
kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang
berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa)
merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak
terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab,
karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang
sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah
hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada
Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma'nan)? Seperti saya katakan
di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan
oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang
pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses
"copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi,
mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah
manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk
menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada
masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk
membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya
secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf
kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suciĆ¢€”selalu bersifat
"repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya
adalah dengan membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan
menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang
bias diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat
pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan
melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.



Luthfi Assyaukanie.
Dosen Sejarah Pemikiran Islam
Universitas Paramadina
Jakarta

Primaat Petrus

Sri Paus, yang adalah Uskup Roma dan Vikarius Kristus di dunia.
Dia adalah kepala yang terlihat dari seluruh Gereja Katolik.

"Aku akan mengangkat satu orang gembala atas mereka, yang akan menggembalakannya." (Yehezkiel 34:23).

...Untuk menemukan Gereja Kristus yang sejati di dunia ini, engkau harus menemukan Petrus atau penggantinya yang sah. "Di mana Petrus berada, disanalah Gereja berada." (Santo Ambrosius, abad ke-4). Sri Paus, yang adalah Uskup Roma dan Vikarius Kristus di dunia. Dia adalah kepala yang terlihat dari seluruh Gereja Katolik.

Katholik Orthodox:
1. Papanisme (Koreksi: PAPALISME) yakni Kekuasaan Tunggal (Supremacy) di tangan Paus Roma, yang sama sekali tidak dikenal oleh Gereja mula-mula.

Comment:
1. a. Di Kis 15:6 terlihat banyak orang yang hadir, para rasul dan romo-romo (tua-tua).

Di Kis 15:7 terlihat bahwa diantara mereka banyak debat dan ini mengakibatkan pertemuan yang ramai. Masih di Kis 15:7, Petrus berdiri!

Diantara orang yang lagi ngomong, si Petrus berdiri!!
Ini signifikansinya apa?
Dan setelah Petrus berdiri, semua debat yang dilakukan para rasul dan romo-romo itu berhenti. Petrus memotong semua argumen dalam debat itu dengan argumennya sendiri (isi argumen Petrus ada di Kis 15:7-11).

Dan setelah Petrus selesai para hadirin masih tetap diam (Kis 15:12). Yakobus hanya mengkonfirmasi argumennya petrus. Paulus dan Barnabas memberikan kesaksian akan peristiwa yang membenarkan argumennya Petrus.

1. b. Bukti paling awal dari penggunaan otoritas Uskup Roma terhadap keuskupan lain datang dari Surat St Clement ke warga di Korintus. Ditulis oleh Clement, Uskup Roma, sekitar 80 masehi.

Surat pertama dari Paus Clement I cukup istimewa.
Keistimewaan surat ini terletak pada kenyataan bahwa surat ini dibuat MASIH DALAM JAMAN RASULI. Ketika itu, Rasul Yohanes Penginjil, rasul yang paling akhir meninggal, masih hidup di pulau Patmos (dimana dia menerima wahyu yang kemudian ditulisnya menjadi kitab Wahyu).

Sekarang coba buka peta dunia Perjanjian Baru di bagian belakang Alkitab. Coba check tiga tempat: Korintus, Patmos dan Roma. Akan terlihat bahwa jarak dari Korintus ke Patmos jauh lebih dekat dari jarak Korintus ke Roma. Nah, mengapa umat Korintus meminta keputusan atas permasalahan mereka kepada Paus St. Clement I yang tempatnya jauh dan bukannya kepada seorang Rasul Yohanes yang masih hidup di tempat yang jauh lebih dekat? Apalagi mengingat jaman dahulu transportasi sulit dan umat Kristen dianiaya oleh orang Romawi dan Yahudi (Yahudi yang masih melakukan Hukum Taurat)? Ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena pemimpin dari Gereja sejak dahulu sampai sekarang adalah Penerus Petrus, yaitu Paus Roma.

Di surat tersebut dia merespon permohonan warga Korintus untuk turun tangan menangani masalah yang terjadi. Keseluruhan surat ditulis dengan penuh kebapakan tapi juga jelas bahwa Clement sadar kalo dia punya otoritas spesial.

Dua kalimat kunci yang mencolok sebagai kesaksian adalah; “Tapi bila ada yang TIDAK PATUH firman dari Dia [Kristus] MELALUI kita, biarlah mereka tahu bahwa mereka telah terlibat dalam dosa dan berada DALAM BAHAYA YANG TIDAK KECIL”; dan “Karena kamu akan memberi kita kebahagiaan dan kegembiraan bila, dengan MENURUTI APA YANG KITA TULIS melalui Roh Kudus, kamu mengusir kemarahan atas kecemburuan kamu” (59. 63).


Apakah hanya para Paus yang merasa bahwa diri mereka punya keistimewaan? Tidak. Tulisan para Bapa Gereja Awal (Early Church Fathers) baik dari Barat maupun Timur juga meunjukkan pengakuan akan iman yang sama atas otoritas dan keutamaan Paus....

Berikut adalah website yang memuat kutipan dari tulisan para Bapa Gereja Awal (Early Church Fathers) akan hal tersebut:

http://www.catholic.com/library/Authori ..e_Pope_Part_1.asp
http://www.catholic.com/library/Authori ..e_Pope_Part_2.asp
http://www.catholic.com/library/Peter_Primacy.asp
http://www.cin.org/users/jgallegos/rock.htm

2. Orthodox menanggapi Katholik Roma tidak hanya skismatik namun juga Bidah, hal ini sesuai dengan pernyataan St. Markus Effesus, dikarenakan mereka memelihara ajaran Bidat yakni Penambahan Filioque dalam Syahadat Iman Gereja mula-mula.

Comment:
Alasan tersebut sebenarnya dibuat-buat karena penambahan kata “filioque” tidak menjadikan pengakuan iman dalam Syahadat Iman sesat, namun masih sesuai dengan iman yang Katolik dan Apostolik.

Kutipan dari para Bapa Gereja baik dari Timur maupun Barat bisa membuktikan ini:

Tertullian
"I believe that the Spirit proceeds not otherwise than from the Father through the Son" (Against Praxeas 4:1 [ca. A.D. 220])

Origen
“We believe, however, that there are three persons: the Father and the Son and the Holy Spirit; and we believe none to be unbegotten except the Father. We admit, as more pious and true, that all things were produced through the Word, and that the Holy Spirit is the most excellent and the first in order of all that was produced by the Father through Christ" (Commentaries on John 2:6 [ca. A.D. 277])

Hilary
"Concerning the Holy Spirit ... it is not necessary to speak of him who must be acknowledged, who is from the Father and the Son, his sources" (Trinity 2:29 [A.D. 359])

Ephipanus
"The Father always existed and the Son always existed, and the Spirit breathes from the Father and the Son" (The Man Well-Anchored 75 [A.D. 374])

Augustine
"If that which is given has for its principle the one by whom it is given, because it did not receive from anywhere else that whcih proceeds from the giver, then it must be confessed that the Father and the Son are the principle of the Holy Spirit, not two principles, but just a the Father and the Son are one God ... relative to the Holy Spirit they are one principle" (The Trinity 5:14:15 [ca. A.D. 405])

Cyril of Alexandria
"Since the Holy Spirit when he is in us effects our being conformed to God, and he actually proceeds from the Father and the Son, it is abundantly clear that he is of the divine essence, in it in essence and proceeding from it" (Treasury of the Holy Trinity, thesis 34 [ca. A.D. 424])

Fulgence
"Hold most firmly and never doubt in the least that the only God the Son, who is one person of the Trinity, is the Son of the only God the Father; but the Holy Spirit himself also one person of the Trinity, is spirit of not the Father only, but of Father and of Son together" (The Rule of Faith 53 [A.D. 524])


 Bahwa Roh Kudus "procedit" dari Bapa DAN Putra adalah dogma yang tidak dapat salah.

Filioque adalah hasil dari Tradisi barat yang akhirnya malahan membuat jelas bahwa Putra berasal dari Bapa secara generatif sedangkan Roh Kudus berasal dari ...Bapa (dan Putra) secara prosesi.
Perhatikan tanggal pemerintahan Paus supaya tahu ke-kuno-an dari ketetapan-ketetapan berikut:

ST. CLEMENT I 90(?)- 99(?)
The Primacy of the Roman Pontiff *

[From the letter "(Greek text deleted)" to the Corinthians]

41 (1) BECAUSE of the sudden calamities that have followed one another in turn and because of the adverse circumstances which have befallen us, we think, brethren, that we have returned too late to those matters which are being inquired into among you, beloved, and to the impious and detestable sedition . . . which a few rash and presumptuous men have aroused to such a degree of insolence that your honorable and illustrious name . . . is very much reviled. . . . In order to remind you of your duty, we write. . . . (57) You, therefore, who have laid the foundations of this insurrection, be subject in obedience to the priests and receive correction unto repentance. . . . (59) But if some will not submit to them, let them learn what He [Christ] has spoken through us, that they will involve themselves in great sin and danger; we, however, shall be innocent of this transgression. . . . (63) Indeed you will give joy and gladness to us, if having become obedient to what we have written through the Holy Spirit, you will cut out the unlawful application of your zeal according to the exhortation which we have made in this epistle concerning peace and union.

41 (1) KARENA bencana tiba-tiba yang muncul satu demi satu bergiliran dan karena keadaan yang berbalik yang menimpa kami, kami berpikir, saudara-saudara, bahwa kami telah kembali terlalu lambat kepada masalah-masalah yang menjadi pertanyaan diantara kamu, yang terkasih, [dan diantara] para orang yang tidak saleh dan pembangkangan-pembangkangan yang menjijikkan. . . dimana beberapa orang yang gegabah dan sok telah membangkitkan [ke-gegabahan dan ke-sok-an mereka] sampai pada tingkatan yang lancang sehingga namamu yang terhormat dan dikenal . . . menjadi sangat terhina. . . . untuk mengingatkan engkau kepada tugasmu, kami menulis. . . . (57) Kau, karenanya, yang meletakkan pondasi atas pemberontakan ini, jadilah subyek dalam ketaatan kepada imam-imam dan menerima koreksi kearah pertobatan. . . . (59) Tapi bila beberapa tidak patuh kepada mereka, biarlah mereka belajar apa yang Dia [Kristus] telah katakan melalui kami, bahwa mereka akan melibatkan diri mereka sendiri dalam dosa dan bahaya yang besar; Kami, bagaimanapun, akan menjadi tidak bersalah atas pelanggaran ini. . . . (63) Memang engkau akan memberi kebahagiaan dan kegembiraan kepada kami, kalau setelah menjadi patuh terhadap apa yang kami tulis melalui Roh Kudus, kamu akan memotong diri dari aplikasi yang tidak legal atas keinginan besarmu sesuai dengan anjuran yang telah kami buat dalam surat ini mengenai kedamaian dan kesatuan.

ST. JULIUS I 337-352
The Primacy of the Roman Pontiff *

[From the epistle (Greek text deleted) to the Antiochenes, in the year 341]

57a For if, indeed as you assert, some sin has risen among them, a judicial investigation ought to have been made according to the ecclesiastical canon, and not in this manner. Everyone should have written to us, in order that thus what was might be decided by all; for the bishops were the ones who suffered, and it was not the ordinary churches that were harassed, but which the apostles themselves governed in person. Yet why has nothing been written to us, especially regarding the Alexandrian church? Or do you not know that it is the custom to write to us first, and that here what is just is decided? Certainly if any suspicion of this nature did fall upon the bishop of that city, the fact should have been written to this church.

57a Karena bila, memang seperti yang engkau nilai, beberapa dosa telah timbul dari antara mereka, sebuah penyelidikan yudikatif harus dilaksanakan sesuai kanon gerejawi, dan tidak dengan cara seperti ini. Setiap orang seharusnya menulis kepada kami, agar apa yang benar bisa diputuskan untuk semua; karena semua uskup adalah pihak-pihak yang menderita, dan bukannya Gereja-Gereja biasa yang dilecehkan, tapi yang diperintah rasul-rasul sendiri secara pribadi.
NAMUN KENAPA TIDAK ADA APAPUN YANG DITULISKAN KEPADA KAMI, TERUTAMA MENGENAI GEREJA ALEKSANDRIA? ATAU APAKAH ENGKAU TIDAK TAHU BAHWA MERUPAKAN KEBIASAAN UNTUK MENULIS KEPADA KAMI TERLEBIH DAHULU, DAN BAHWA DISINI APA YANG ADIL DITENTUKAN? TENTUNYA BILA ADA KECURIGAAN YANG SIFATNYA SEPERTI INI YANG MENIMPA USKUP DARI KOTA TERSEBUT, FAKTA ITU HARUSLAH DITULIS KEPADA GEREJA INI

ST BONIFACE I 418-422

The Primacy and Infallibility of the Roman Pontiff

[From the epistle (13) "Retro maioribus tuis" to Rufus, Bishop of Thessaly, March 11, 422]

(2) . . . To the Synod [of Corinth]. . . . . we have directed such writings that all the brethren may know. . . . . that there must be no withdrawal from our judgment. For it has never been allowed that that be discussed again which has once been decided by the Apostolic See.

(2) . . . Kepada Sinode [di Korintus]. . . . . kami telah mengarahkan suatu tulisan-tulisan sehingga semua saudara menjadi tahu. . . . . bahwa haruslah tidak ada penarikan dari keputusan kami. KARENA TIDAKLAH PERNAH DIIJINKAN UNTUK MENDISKUSIKAN KEMBALI APA YANG SUDAH DIPUTUSKAN OLEH TAHTA APOSTOLIK.


Sebenarnya Orthodox MULA-MULA hanya skismatik.

Tapi lama lama mereka juga mengimani heresy.
Contohnya adalah mengijinkan orang UNTUK kawin kembali (seperti Protestant) meskipun pasangan tidak mati.

...Orhtodox jauh lebih menyimpang dari perintah Kristus dengan mengijinkan orang yang masih menikah resmi dan pasangannya masih hidup untuk menikah kembali [re-marriage] (Vassula Ryden, contohnya).

Gereja Katolik sendiri sudah menetapkan secara De Fide tentang indissobility of mariage, remariage serta nature dari Sakramen perkawinan. Karenanya ajaran yang tidak sesuai dari apa yang ditetapkan Gereja berarti kesesatan.

Di jaman para rasul pun terjadi skisma dan bidah (1Kor 13; 2Tes 3:6). Dan hal ini kan terus terjadi sepanjang segala abad sampai kiamat.

Namun apakah karena skisma dan bidah kemudian Gereja tiba-tiba menjadi dua, tiga atau setengah, seperempat? Sama sekali tidak.

Yoh 15:1-6
1 "I AM THE TRUE VINE, and my Father is the vinedresser. 2 Every branch of mine that bears no fruit, he takes away, and every branch that does bear fruit he prunes, that it may bear more fruit. 3 You are already made clean by the word which I have spoken to you. 4 Abide in me, and I in you. As THE BRANCH CANNOT BEAR FRUIT BY ITSELF, UNLESS IT ABIDES IN THE VINE, NEITHER CAN YOU, UNLESS YOU ABIDE IN ME. 5 I am the vine, you are the branches. He who abides in me, and I in him, he it is that bears much fruit, for APART FROM ME YOU CAN DO NOTHING. 6 IF A MAN DOES NOT ABIDE IN ME, HE IS CAST FORTH AS A BRANCH AND WITHERS; AND THE BRANCHES ARE GATHERED, THROWN INTO THE FIRE AND BURNED.

Mereka yang tidak berada dalam pokok anggur sejati, ie. Kristus, akan mati dan dimasukkan ke Neraka. Kristus pun hanya mempunyai satu tubuh (Ef 5:23,30; Kol 1:18,24). Gereja hanya ada satu.

Mereka yang tidak berada bersama Gereja = tidak bersama Kristus. Tentunya Gereja yang dimaksud di sini adalah Gereja yang didirikan Yesus diatas Petrus di mana kuasanya sampai sekarang masih dilaksanakan melalui para penerusnya, yaitu para Paus Roma.


Sebelum Yesus cabut ke Surga diantara hal terakhir yang Dia lakukan bisa dibaca di Yoh 21:15-17.

Yesus berdoa agar iman Petrus tidak gagal dan agar dia menguatkan iman saudara-saudaranya (Luk 22:31-32). Apakah doa Yesus gagal???

Tahta Roma ya...ng juga disebut sebagai Tahta Apostolik sendiri diketuai oleh Patriark dari Barat yaitu Paus Roma yang merupakan yang paling utama diantara semua Patriark dan uskup karena dialah penerus Petrus yang dilindungi oleh janji Yesus di Matius 16:18-19.

Dan memang sebenarnya tidak ada yang namanya Katolik Yunani. Sebelum perpecahan, semua Gereja adalah Katolik. Bahkan Gereja Yunani yang cikal bakalnya Gereja Orthodox yang pecah dari Gereja Katolik. Itupun mereka tidak menamakan diri mereka Katolik Yunani. Mereka menamakan diri Orthodox Yunani dan mereka selalu menyebut diri mereka sebagai Gereja yang Katolik dan Apostolik.

Sedangkan sebenarnya Gereja yang Katolik dan Apostolik hanyalah satu. Yaitu Gereja yang sejak dari dulu menaati pesan Kristus dan mempunyai Petrus ataupun penerusnya sebagai gembala utama sesuai yang diperintahkan Yesus (Yoh 21:15-17).

Faktanya memang TIDAK SEMUA Gereja di Timur memecahkan diri dari Gereja Katolik. Sebagian kecil dari umat mereka yang setia terhadap iman Bapa Gereja Awal dan iman yang apostolik memilih untuk memelihara kesatuan dengan penerus Petrus (Paus Roma).


Posisi Uskup di antara Uskup-Uskup lainnya tentu saja adalah SEDERAJAT.

Para Uskup adalah “pangeran” dari keuskupan-keuskupan mereka.

Tapi TIDAK SEMUA USKUP mempunyai kedudukan yang sama.
...Ada satu Uskup yang mempunyai kuasa lebih tinggi dari Uskup yang lain. Dan itu adalah Uskup Roma sebagai penerus dari rasul Petrus.

Karena YESUS-LAH yang menetapkan Petrus sebagai batu karang di mana GerejaNya/JemaatNya akan dibangun (Mat 16:18), YESUS-LAH yang memberikan Petrus kunci-kunci kerajaan surga (Mat 16:19), YESUS-LAH yang mendoakan supaya iman Petrus kuat dan bisa meneguhkan iman saudaranya (Luk 22:31-32) dan YESUS-LAH yang menyuruh Petrus untuk menggembalakan domba-dombaNya SAMPAI TIGA KALI (Yoh 21:15-17).

Ayat yang paling gamblang itu adalah Matius 16:18.
Di sini Yesus menjanjikan pada Petrus bahwa alam maut tidak akan menguasai Gereja yang didirikan diatasnya (nya = Petrus).
Andaikan Gereja mengajarkan ajaran yang sesat maka itu berarti bahwa alam maut telah menguasai Gereja. Oleh karena itu Petrus sebagai batu karang di mana Gereja didirikan, dilindungi dari kemungkinan untuk mengajarkan ajaran yang salah pada semua umat kepunyaanYesus.

Ayat lain adalah 1Timotius 3:15 di mana disebutkan bahwa Gereja adalah pilar dan tiang penopang KEBENARAN. Dan karena menurut Matius 16:18 Gereja didirikan ditas Petrus, maka jelaslah bahwa KEBENARAN akan selalu berada di sang rasul utama sendiri.

Inilah iman yang orthodox, alkitabiah, Katolik dan Apostolik!

Bagi mereka yang mengeraskan hati dan tidak mematuhi iman yang orthodox, alkitabiah, Katolik dan apostolik ini, maka mereka akan dihakimi oleh Yesus sendiri yang berseru:

“Mereka yang mendengarkan kamu, mendengarkan Aku. Mereka yang menolak kamu, menolak Aku. DAN MEREKA YANG MENOLAK AKU, MENOLAK DIA YANG MENGUTUS AKU”

Sabtu, 25 September 2010

Sejarah (singkat) Injil Perjanjian Baru

Saya ingin berbagi pandangan, menurut Agustinus Gianto,
Profesor Filologi Semit dan Linguistik pada Pontifical Biblical Institute, Roma (Tempo, 24-30 Apr. 2006 hal. 

120)


Setelah Yesus wafat, para murid pertama mulai mengumpulkan ingatan mengenai sang guru. Bahan2 itu dibawa ke dalam ibadat, dikisahkan berulangkali, dikumpulkan dan diajarkan kepada generasi berikutnya.

Begitulah pada abad pertama mulai dikenal kisah-kisah mengenai Yesus.
Juga ada kumpulan perkataanNya.

Injil Markus, yang selesai disusun menjelang tahun 70, mengisahkan karya Yesus di Galilea dan perjalanannya ke Yerusalem tempat Ia wafat disalib. Di dalam untaian kisah ini juga termasuk kata-kata serta pengajaranNya

Injil Matius, yang ditulis sepuluhan tahun kemudian, memakai Injil Markus sebagai bahan dasar dan menyuntingnyakembali dengan menyertakan bahan yang kiranya belum sempat dipakai Markus, yakni kumpulan kata-kata Yesus.

Begitu juga yang dilakukan penulis Injil Lukas kurang-lebih pada waktu yang bersamaan. Tetapi ia menyampaikan bahan Markus dalam kerangka yang berbeda dengan yang dipakai Matius.

Injil Yohanes baru mulai disusun pada akhir abad ke-1 dengan bahan-bahan yang melengkapi ketiga Injil sebelumnya.

Pada abad ke-2,
disamping keempat Injil tersebut, mulai bermunculan pelbagai tulisan lain mengenai Yesus dan para muridnya.

Baru pada abad ke-4
terbentuklah kumpulan yang sekarang dikenal. Proses ini berjalan bukan atas dasar perencanaan atau rekayasa, bukan pula digariskan pemimpin Gereja. Dalam proses itu, macam-macam komunitas memilih kumpulan kitab keramatnya masing-masing. namun, lambat laun himpunan itu makin seragam baik dari segi isi maupun coraknya. Salah satu faktor keseragaman ini ialah adanya saling keterbukaan dan kerja sama di antara komunitas-komunitas yang akhirnya menjadi Gereja. Demikianlah kesatuan lebih dirasakan daripada perbedaan.

Proses seperti itu ada kemiripannya dengan sebuah pertunjukan di lapangan terbuka. Terbentuk lingkaran penonton, bisa melebar, bisa menciut, atau jadi arena tetap. Semuanya melihat atraksi yang sama. Bayangkan bila satu ketika ada orang yang menyelonong masuk mau ikut serta bermain. Ia akan disisihkan bahkan oleh para penonton sendiri.
Tapi bisa jadi juga ia diterima dan menjadi bagian dari atraksi.
Begitu pula proses terkumpulnya kitab-kitab keramat pada abad-abad awal tadi. Yang ditampilkan dalam teks-teks itu sama, yakni Yesus dan para muridnya (yang kemudian dikenal sebagai Injil-Injil dalam Alkitab) dan surat-surat para pemerhati komunitas (Paulus, dan lain-lain).
Bila ada unsur baru, maka akan diserap ke dalam kumpulan atau tetap berada di luar.


Setelah empat abad pertama,
makin mantaplah kumpulan kitab-kitab Perjanjian Baru. Juga makin jelaslah tulisan-tulisan mana saja yang tidak termasuk di dalamnya.

Sekarang mengenai teks tentang Yudas. Bagaimana menafsirkannya?

Sekitar tahun 180, Santo Ireneus, seorang Bapa Gereja, menyebutkan dalam Adversus Haereses ("Melawan Kaum Bidah") bahwa ada Injil "menurut Yudas" di kalangan gnostik yang dikenal sebagai kaum "Kain" (tokoh pujaan mereka ialah Kain, anak Adam). Mereka beranggapan bahwa tokoh-tokoh baik dalam Alkitab seperti Nuh dan Musa bukan orang-orang yang sungguh "benar", sedangkan para tokoh negatif seperti Kain (pembunuh Habel, adiknya) dan lain-lainnya mereka pandang sebagai orang "benar".
Orang-orang ini mereka yakini telah mendapat pengetahuan khusus atau gnosis yang tak terjangkau umum.
Menurut kalangan gnostik itu, orang banyak keliru karena tidak memperoleh pencerahan khusus.
Pendapat seperti itu akhirnya tersingkir karena tidak menjawab kebutuhan batin orang banyak.
Sama seperti publik yang bubar karena tidak lagi tertarik.

Pada 1970-an mulai dibicarakan adanya naskah papirus dalam bahasa Kopt (bahasa di kalangan Kristen di Mesir) dan isinya mengingatkan pada amatan Ireneus tadi. Bagian-bagian yang terbaca memuat kumpulan kata-kata Yesus dan beberapa wejangan khusus bagi Yudas.
Murid yang menurut Injil-Injil bersikap kemaruk dan tidak setia itu di sini muncul sebagai tokoh yang memperoleh pencerahan khusus dari sang guru. Tindakannya menyerahkan Yesus kepada lawan-lawannya ditampilkan sebagai yang diajarkan guru itu sendiri,.

Memang, dalam alam pikiran gnostik, lazim dibedakan dunia kasar dan dunia halus.
Badan termasuk kasar, dan pengetahuan batin adalah yang halus tetapi yang terpenjara di badan yang kasar. maka, pembebasan dari badan itu keselamatan yang sesungguhnya. Itulah anggapan dasar teks tentang Yudas tadi. Maka, bila badan Yesus dihancurkan, yang halus akan terbebas. Karena itu, Yudas ditampilkan sebagai murid yang dikasihi dan berlaku "benar". Murid-murid yang lain tidak mencapai pengetahuan khusus seperti itu.

Sejak awal naskah itu tidak dipakai di kalangan orang kebanyakan. Bahkan para pendukung naskah itu memaksudkannya sebagai tulisan yang berisi pengetahuan khusus yang tidak diperuntukkan bagi semua orang. Ajarannya bersifat esoterik, untuk sebagian kecil orang-orang pilihan. Amat berbeda dengan Alkitab, yang tampil bagi khalayak umum dan sama sekali tidak dirahasiakan bagi sekelompok kecil.

Memang ada tingkat-tingkat kedalamannya, misalnya Injil Markus dimaksudkan bagi para pemula, sedangkan Injil Matius dan Lukas lebih cocok bagi mereka yang sudah mulai masuk, sedangkan Injil Yohanes bagi yang telah matang kerohaniannya, tapi tetap terbuka bagi siapa saja.

Kelompok teks seperti naskah tentang Yudas ini lazimnya disebut tulisan apokrif, artinya, "dirahasiakan" bagi kalangan sendiri.
Lawannya ialah kita-kitab yang diwahyukan, yang dibeberkan bagi semua orang. Ironinya, tulisan2 apokrif itu biasanya tidak mendalam dan isinya hanya berlaku bagi kelompok kecil itu sendiri. Perkara yang digarap di situ biasanya juga tidak menyangkut berbagai pertanyaan mendasar dalam kehidupan manusia, tetapi terlalu terlalu terpancang pada kebutuhan individu tertentu.

Ada satu segi lain yang tampaknya hanya menyangkut cita rasa, tapi sebetulnya besar peranannya di dalam proses masuk atau tidaknya ke dalam kumpulan Alkitab Perjanjian Baru. Misalnya, dalam "Injil Yudas" dijumpai beberapa kali Yesus tertawa atau menertawakan suatu anggapan, seperti terdapat dalam pelbagai tulisan gnostik lain. Perilaku Yesus ini tidak didapati dalam Injil-Injil. Bukan karena Yesus dulu tak pernah tertawa, tapi perilaku ini tidak termasuk ciri-ciri Yesus Injili dan bila ditampilkan malah menjadi alasan untuk menganggap tulisan yang bersangkutan kurang berbobot.

begitulah ada macam-macam tindakan Yesus dalam pelbagai tulisan apokrif yang amat manusiawi, tapi tak termasuk perangkat pemahaman orang-orang yang dulu mengenalnya dari dekat.

Tokoh Yesus dalam teks-teks Alkitab bersambut gayung dengan iman kepercayaan nyata dalam diri orang beriman.
Tampilan yang tidak mengena akan luput masuk pustaka hidup Gereja dan bukan bagian pusaka iman.

Sejarah Quran

Para moslem merasa bahwa Quran sekarang ini persis sampai titik-komanya dengan yang pertama kali diterima Mohammad.

Salah satu bukti kepalsuan Quran yang berkesan menurutku adalah cerita tentang masa kecil Isa dimana Isa kecil yang bermain dengan tanah liat membentuk tanah liat itu sebagai burung dan kemudian dari tanah liat tersebut benar-benar berubah menjadi burung. Kisah kecil yang ada di Quran ini merupakan saduran dari Injil Thomas yang merupakan Kitab yang tidak diakui Gereja sebagai kanon karena merupakan Kitab kaum Gnostik yang sesat. Kaum Gnostik sendiri sudah ada puluhan tahun sebelum Islam ada. Tampaknya kisah palsu ini ikut tercontek di Quran.
Bukti bahwa Mohammad mendapat idenya dari Injil Thomas milik kaum Gnostik.


Surah Ali Imran : 49:
Ia akan menjadi seorang rasul untuk Bani Israel seraya berseru: "Aku telah datang kepadamu dengan membawa sebuah tanda dari Tuhanmu. Aku membuatkan kamu bentuk burung yang terbuat dari tanah, kemudian aku meniupnya, dan jadilah ia seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang buta dan pengidap lepra, dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Aku memberitahukanmu apa yang akan kamu makan dan apa yang akan kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu jika kamu orang-orang beriman."
Dan inilah padanannya di Injil Thomas yang diambil dari NewAdvent.org


3. And Jesus made of that clay twelve sparrows, and it was the Sabbath. And a child ran and told Joseph, saying: Behold, thy child is playing about the stream, and of the clay he has made sparrows, which is not lawful. And when he heard this, he went, and said to the child: Why dost thou do this, profaning the Sabbath? But Jesus gave him no answer, but looked upon the sparrows, and said: Go away, fly, and live, and remember me. And at this word they flew, and went up into the air. And when Joseph saw it, he wondered.


Terjemahan BHS Indo:

3. Dan Yesus membuat dari tanah liat tersebut 12 burung sparrow (Catatan: aku gak tahu apa terjemahan BHS Indo dari burung Ć¢€Å“sparrowĆ¢€), dan pada saat itu adalah hari Sabat. Dan seorang anak berlari dan memberitahu Yusuf, dengan berkata: Lihatlah, anakmu sedang bermain di pinggiran sungai, dan dari tanah liat Dia telah membuat burung sparrows, yang telah melanggar hukum (Catatan: Maksudnya Yesus, dengan membuat burung dari tanah liat, telah melakukan suatu Ć¢€Å“pekerjaanĆ¢€. Padahal warga Yahudi sama sekali tidak boleh melakukan pekerjaan dalam bentuk apapun saat Sabat). Dan saat mendengarkan cerita ini, dia (Yusuf) pergi, dan berkata pada anak itu (Yesus): Kenapa engkau melakukan ini, mem-profankan hari Sabat? Tapi Yesus tidak memberinya jawaban, tapi melihat kepada Sparrows tersebut, dan berkata: Pergilah, terbang dan hiduplah, dan ingatlah Aku. Dan karena kata-kata ini mereka (burung-burung Sparrows) terbang, dan naik ke udara. Dan ketika Yusuf melihatnya, dia termenung.

Lebih lengkap (namun dalam BHS Inggris) lihat disini:

http://answeringislam.org/Quran/Sources/cradle.html
Di museum-museum masih terdapat manuscript-manuscript Quran yang isinya tentu saja dari agak berbeda sampai sangat berbeda dari Quran yang kamu baca sekarang. Fakta ini persis dengan apa yang ditulis Luthfi.

Dan sebaiknya tidak menuduh Luthfi menelanjangi dirinya sendiri hanya karena dia menyajikan suatu kebenaran yang mungkin menyerang iman Islam. Karena memang kenyataannya apa yang dikatakan lutfhi akan banyaknya versi Quran yang berbeda adalah kebenaran yang dapat dikonfirmasi dari manuscript yang masih ada di museum-museum.

Seperti yang kamu katakan sendiri Ć¢€Å“Tuhan sudah memberikan Otak kepada kita utuk berfikir dan bisa memilah-milah mana yang benar dan salah untuk membandingkan sesuatuĆ¢€ maka hendakanya akal yang digunakan Allah ini digunakan. Dan karena Allah memang memberikan akal ini kepada manusia supaya manusia mampu mencari Dia, maka bila manusia menggunakan akalnya dengan benar niscaya Dia tidak akan mengecewakan dan akan menuntun manusia ke jalan yang benar.

Dan Luthfi tentunya tidak asal berkata dan bodoh. Banyak sekali ahli yang mengkonfirmasikan apa yang dikatakannya karena memang faktanya ada versi-versi lain dari Quran. Di website ini banyak link ke artikel-artikel:

http://answeringislam.org/Quran/Text/index.html

Sebagain terlihat mengkonfirmasi apa yang dikatakan Luthfi. Contohnya mengenai variasi teks dari Al-Fatiha:
http://answeringislam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm
Pembelajaran yang benar, niscaya tidak akan menyesatkan seseorang. Sebagai anggota Tubuh Kristus yang adalah Gereja Katolik aku berharap kamu menemukan tujuan yang memang telah ditunjukkan Allah kedalam setiap manusia.

Pelajarilah sejarah dan terus berdoa. Sekali lagi, dan tidak dengan kenal lelah aku ulangi, orang yang tulus mencariNya pasti menemukanNya, Dia tidak bisa lain dari setia. Karena Allah ingin semua manusia selamat dan tiba pada pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:4).

PS.
Ada ayat ayat dari alquran yang bertentangan dengan ayat-ayat dari Kitab Suci
contohnya seperti
ayat alquran yang berbunyi:

[44.54] demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka BIDADARI.
[44.55] Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran),
[44.56] mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka,

[52.17] Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan,
[52.18] mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka; dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka.
[52.19] (Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan",
[52.20] mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan BIDADARI-BIDADARI yang cantik bermata jeli.


dengan ayat alkitab

Markus: 12
12:24 Jawab Yesus kepada mereka: "Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah.
12:25 Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.

Church - State RELATIONS AUTONOMOUS and INDEPENDENT

Vatican official's visit confirms improved CHURCH-STATE RELATIONS in Cuba:

http://www.catholicculture.org/news/headlines/index.cfm?storyid=6690 

Tidak seperti Islam yang meleburkan agama dan negara atau Protestant yang memisahkan negara, Gereja Katolik mengajarkan adanya perbedaan fungsi/otoritas antara agama dan negara. Umat Katolik dituntut untuk setia kepada pemerintahan negara (Rom 13:1-7)

Sebagaimana Yesus adalah benar-benar Allah dan benar-benar manusia, maka tatanan masyarakat terdapat dualitas antara yang ilahi (Gereja) dan yang duniawai (negara). Namun apabila ada benturan diantara keduanya, maka yang duniawi (negara) wajib mengalah terhadap yang ilahi (Gereja).  

Misalnya mengenai perceraian dan aborsi. 
Tidak seharusnya negara membuat hukum yang melegalkan perceraian dan aborsi.  
Katakanlah negara membuat hukum: "orang yang mencuri 5 cents akan dihukum mati." Nah, hukuman ini jelas-jelas sangat tidak proporsional dan mencederai hukum keadilan dan kasih Allah. Karena itu hukum ini harus dihapus.

Hukum-hukum lain seperti perkawinan homoseksual, kloning manusia, kebijakan kontrasepsi (ex. Cina) adalah hukum-hukum yang dibuat negara yang bertentangan dengan ajaran Gereja.


Negara atau pemerintahan bukanlah "musuh" atau "pihak lain" yang harus diwaspadai. Jalan pemikiran seperti inilah yang membuatmu, lookman hakim, merasa aneh ketika menurut iman Kristen [yang sejati] jenis hukuman penjahat diserahkan kepada otoritas negara. Maka dari itu sering seorang moslem berseru: "persetan dengan hukum manusia! Yang ada hanya hukum Allah!."

Bagi umat Kristen [yang sejati], negara merupakan bagian dari kehidupan umat beragama. Allah memberi negara tugas sendiri dalam tatanan masyarakatNya.

Umat moslem pada dasarnya susah menjadi warga negara yang baik terutama di pemerintahan yang tidak Islam (seperti Indonesia yang sekuler). Pemerintahan yang Islam pun sudah dicoba di berbagai negara (ex. Afghanistan dengan taliban dll). Hasilnya.... negara-negara tersebut sungguh sangat kacau.


Gereja tidak mengurusi sanksi-nya. Jadi Gereja tidak membuat aturan seperti, "kalau mencuri emas seberat XXX gram, maka tangannya dipotong." Gereja hanya menentukan bahwa mencuri itu salah. sejak dulu Gereja mengajarkan adanya fungsi yang berbeda dari Gereja dan pemerintahan, dimana masing-masing punya otoritasnya sendiri. Meskipun begitu dalam kenyataannya sering negara mencampuri Gereja, bukan sebaliknya. Mengapa? Karena yang punya banyak militer adalah negara. Banyak Paus yang diperangi, ditahan dan dikucilkan penguasa negara yang Katolik.

Pemisahan Gereja dan Negara itu benar, dalam pengertian memisahkan politik Gereja dan politik negara, tapi tidak benar dalam pengertian memisahkan moral Gereja dan moral negara.

KESATUAN antara Gereja dan Negara. Katolik mengajarkan adanya INDEPENDENCE sekaligus RELATIONSHIP antar keduanya. 

Dalam bidang-bidang mereka sendiri Gereja dan Negara punya kekuasaan dan otoritas yang independen (sisi jiwa manusia dari Kristus sendiri punya kehendak rasional yang bebas meskipun selalu patuh terhadap kehendak ilahiNya [Mat 26:39,42]).
Kamu kembali lagi ke KESATUAN HYPOSTASIS.

Teks itu maksudnya: Gereja punya urusannya sendiri, Negara juga punya urusannya sendiri. Keduanya autonomous dan independent.

Kalau pakai argument kamu, teks itu harus dibaca: Dalam urusan mereka sendiri2, Gereja sbg TUBUH MISTIK KRISTUS yg ilahi dan Negara sbg TUBUH MISTIK KRISTUS yg duniawi masing2 autonomous dan independent”. Ini teologi baru yg samasekali keliru…

Begitu juga keliru jika dibaca: Dalam urusan mereka sendiri2, Gereja sbg UMAT ALLAH yg ilahi dan Negara sbg UMAT ALLAH yg duniawi masing2 autonomous dan independent” Artinya SEPARATION dan bukan KESATUAN. 

Disebut AUTONOMOUS dan INDEPENDENT krn memang tidak ada KESATUAN dan itulah yg memungkinkan adanya RELATIONSHIP. KESATUAN Gereja dan Negara bukanlah ajaran Gereja!

Konsep Islam bukanlah peleburan tapi KESATUAN/identifikasi. 
Bagi mereka AGAMA = NEGARA; NEGARA = AGAMA. 

Jika Gereja dan Negara itu Independent maka Gereja punya hak menampar Hitler dg Ensiklik Mit Brennender Sorge (Pius XI) krn dia sudah melanggar batas2 kuasa gereja.

Demikian juga uskup2 Spanyol punya hak menampar Zapatero yg mengesahkan perkawinan gay dan menghapus pelajaran agama katolik di sekolah2. 
Gereja Nasional Cina adalah model KESATUAN Gereja dan Negara spt yg kamu dukung itu.

Jika Gereja itu memang SATU dg Negara, Vatikan seharusnya tidak perlu repot2 selalu mengkritik Cina.

Katolik mengajarkan adanya INDEPENDENCE sekaligus RELATIONSHIP antar keduanya.  
Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan 2 sudah sangat benar untuk memperingatkan kita supaya Gereja dan Negara tidak dileburkan. Karena memang di situ tidak diajarkan adanya KESATUAN antara Gereja dan Negara.

Pengikut Kristus perlu tunduk/submissive krn sbg orang Kristen mereka harus senantiasa BERBUAT BAIK atau HIDUP DENGAN BAIK kepada siapapun. 

- Hidup yg baik di tengah2 bangsa2 bukan Yahudi (1Pet 2:12)
- Taat kepada pemerintah (1Pet 2:13)
- Perbuatan baik memerangi kepicikan org2 bodoh (1Pet 2:15)
- Hidup sebagai hamba Allah (1Pet 2:16) dan bukan hamba Hitler atau Al Qaeda.
- Hormatilah semua orang (1Pet 2:17)
- Berbuat baik juga kepada tuanmu yg bengis (1Pet 2:18)
- Menderita karena berbuat baik adalah meneladan Kristus (1Pet 2:20-24)

Makna kebebasan Sejati oleh DeusVult

3 topik "Makna kebebasan Sejati":

http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7680

 
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7876

 
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=7881


Berikut adalah sebagian dari pembelajaran kita untuk memahami apa itu makna kebebasan sejati. Tentu saja makna kebebasan sejati adalah sesuai dengan yang diajarkan oleh sang Kebenaran sendiri (Yoh 14:6) melalui Gereja yang didirikanNya (Mat 16:18) yang merupakan tiang penopang dan dasar kebenaran (1Tim 3:15). Karena [sang] Kebenaran-lah yang akan membebaskan kita (Yoh 8:32)! 


1. a. Kebebasan merupakan salah satu anugerah tertinggi yang diberikan kepada mahkluk yang mempunyai kodrat intelektual (ie. mahkluk Rohani seperti malaikat) dan yang mempunyai kodrat rasional (ie. manusia yang terdiri dari jiwa dan tubuh). "Pada awal mula Tuhan menjadikan manusia dan menyerahkannya kepada keputusannya sendiri" demikianlah firman Tuhan di Kitab Sirakh 16:14. Manusia mempunyai kuasa atas tindakan-tindakannya. Namun cara bagaimana kehormatan yang diberikan Allah ini dilaksanakan adalah hal yang terpenting. Tergantung penggunaannya kehormatan ini bisa dipakai untuk kebaikan yang termulia ataupun kejahatan yang terhina.

1.b. Yesus Kristus, yang berkat sengsaraNya telah mengembalikan dan mengangkat kodrat manusia, menjanjikan bantuan khusus bagi kehendak manusia supaya kehendak itu lebih terarah kepada yang baik sebagaimana dimaksudkan. Karena itulah Gereja selalu menghormati dan mempertahankan karunia ini. Namun banyak orang yang menganggap bahwa Gereja merupakan lawan bagi kebebasan manusia. Ini dikarenakan mereka memahami "kebebasan" secara melenceng ataupun mereka memperluas pemahaman akan "kebebasan" sekehendak hati mereka kepada perkara-perkara yang mana manusia sebenarnya tidak bisa dipandang bebas (karena kebebasan untuk melakukan perkara-perkara seperti ini sebenarnya bukan kebebasan tapi perbudakan, ini akan lebih jelas dibawah). 


2. a. Pembahasan kita kali ini adalah mengenai kebebasan moral (moral liberty) namun sebelumnya patut dibahas terlebih dahulu secara singkat mengenai kebebasan kodrati (natural liberty), yang sekalipun berbeda daripada kebebasan moral tapi merupakan sumber daripada segala macam kebebasan (liberty). 


2. b. Kebebasan kodrati hanya ada kepada mahkluk yang mempunyai intelegensi atau nalar (rasio). Oleh karena penggunaan dari-nya-lah maka manusia bisa dengan tepat dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Mahkluk-mahkluk lain mencari yang baik dan menghindari yang buruk hanya melalui insting, namun manusia mempunyai nalar untuk menuntun setiap tindakan dalam hidupnya. 

2. c. Dalam memilih apa yang dianggap baik manusia dihadapkan pada berbagai pilihan. Tidak satupun dari pilihan-pilihan itu mengikat kehendak manusia sedemikian rupa sehingga dia tidak-bisa-tidak harus memilih pilihan tertentu. Ketidakterikatan manusia terhadap pilihan tertentu inilah yang membuatnya bebas memilih pilihan-pilihan yang tersedia dihdapannya. Ketidakterikatan ini dimungkinkan karena manusia mempunyai jiwa. Jiwa manusia dibuat oleh Allah tidak dari materi dan tidak bergantung kepada materi (bandingkan dengan tubuh yang dibuat dari materi dan bergantung pada materi). Jiwa mempunyai hidupnya sendiri dan punya tindakannya sendiri. 

2. d. Dengan memahami bahwa jiwa manusia bersifat abadi, dikaruniai rasio dan tidak terikat oleh materi, maka dasar dari kebebasan kodrati telah diletakkan. 




3.a. Sebagaimana telah dipaparkan, kebebasan hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai nalar atau intelegensi. Menurut kodratnya, kebebasan adalah kemampuan untuk memilih sarana-sarana yang cocok bagi tujuan akhir yang diinginkan.

3. b. Nah, karena apapun yang dipilih sebagai sarana dipandang sebagai sesuatu yang baik atau berguna, dan karena kebaikan adalah sasaran dari keinginan kita, maka tersimpulkan bahwa kebebasan memilih adalah hakikat dari "kehendak."

3. c. Namun "kehendak" tidak bisa bertindak sampai sang "kehendak" diterangi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh intelektualitas manusia. Oleh karena itu kebaikan yang diinginkan oleh sang "kehendak" adalah sesuatu yang benar-benar baik sejauh kebaikan tersebut dikonfirmasi oleh intelektualitas manusia. Saat manusia dihadapkan pada pilihan untuk melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu, sebelum dia memilih, di dalam dirinya ada pertimbangan-pertimbangan akan baik dan buruknya tindakan yang akan diambil.

3. d. Pertimbangan-pertimbangan akan baik buruknya sesuatu adalah operasi/tindakan dari "nalar" bukan dari "kehendak." Jadi "kehendak" akan selalu memilih apa yang baik dan menghindari yang buruk, tidak bisa sebaliknya. Sedangkan nalar membuat pertimbangan mengenai "yang baik/buruk itu yang mana" diantara berbagai kebaikan/keburukan yang ada.

3. e. Oleh karena itu tujuan akhir ataupun sasaran baik dari kehendak yang rasional maupun kebebasan dari kehendak adalah kebaikan yang sesuai dengan nalar.



4. a. Namun kemampuan-kemampuan diatas tidaklah sempurna. Sangat mungkin, dan memang sering terjadi, bahwa "nalar" memutuskan sesuatu yang secara obyektif tidak baik (tapi secara keliru dianggap baik oleh sang "nalar") dan "kehendak" kemudian memilihnya. Misalnya seorang samurai memilih untuk harakiri (yang adalah bunuh diri dan secara obyektif adalah buruk) karena menurut "nalar" bunuh diri itu adalah baik.

4. b. Sebagaimana penyakit membuktikan kefanaan manusia, begitu pula pilihan kita terhadap hal-hal yang terlihat baik menyiratkan kecacatan dalam kebebasan manusia.

4. c. Karena ketergantungan "kehendak" terhadap "nalar" maka ketika sang "kehendak" memilih sesuatu yang secara obyektif tidak baik sang "kehendak" telah menyalahgunakan kebebasan memilihnya (ingat, yang bisa memilih adalah "kehendak," sementara "nalar" hanya memberi pertimbangan) dan mengkorupsi esensinya (ingat, esensi kehendak adalah memilih yang baik bagi manusia, ketika ternyata yang tidak baik yang dipilih, maka esensi kehendak telah tekorupsi).

4. d. Karena itulah Allah yang bebas sempurna tidak dapat memilih yang jahat karena kesempurnaan dari intelek dan kebaikanNya. Intelektualitas Allah yang sempurna dan tak-terbatas tidak akan memberikan keputusan yang keliru. Intelektualitas Allah menilai dengan tepat apakah sesuatu itu baik atau buruk dan kemudian kehendakNya memilih sesuai dengan keputusan intelektualitas tersebut. [edit]Dan kehendak Allah tidak akan pernah memilih yang bertentangan dengan pertimbangan dari intelektualitasNya[/edit].

4. e. Para kudus di Surga juga tidak bisa memilih apa yang secara obyektif jahat. Kepada para bidat Pelagian St. Agustinus berargumen bahwa kalau kemungkinan berbuat dosa merupakan esensi dari kebebasan sempurna, maka Allah, Yesus Kristus dan semua malaikat serta para kudus (yang tidak bisa berbuat dosa) tidak memiliki kebebasan sempurna ini. Manusia yang masih berziarah di dunia akan lebih dekat kepada kebebasan sempurna daripada Allah, malaikat dan para kudus. Kesimpulan yang tidak masuk akal.

4. f. Komentar dari St. Thomas Aquinas atas perkataan Yesus di Yoh 8:4 (ie. setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa) sangat mencerahkan: "semua hal adalah apa yang merupakan hakikatnya secara kodrati. Karena itu ketika sesuatu bertindak melalui kuasa/daya yang berada diluar dirinya maka sesuatu itu tidak bertindak atas dirinya sendiri, tapi bertindak melalui [kuasa/daya] yang lain, yaitu, sebagai budak. Namun manusia secara kodrati adalah mahkluk rasional. Karena itu ketika manusia bertindak sesuai dengan nalar, dia bertindak atas dirinya sendiri dan sesuai dengan kehendak bebasnya; dan inilah kebebasan. Namun ketika dia berdosa, si manusia bertindak berlawanan dengan nalarnya, [dia] digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan [dia] menjadi korban kekeliruan pemahaman. Karenanya 'siapapun yang berbuat dosa adalah budak dari dosa'." (Thomas Aquinas, Mengenai Injil Yohanes, cap. viii, lect. 4, n. 3 (ed. Vives, Vol. 20, p. 95).

4. g. Seorang pemuda dihadapkan pada materi pornografi. "Kehendak" sang pemuda tentu saja menghendaki yang baik bagi dirinya, entah itu menikmati materi pornografi tersebut atau mengabaikannya. Sang "kehendak" bertanya, "pilihan yang mana yang baik?" Tugas beralih kepada sang "nalar." "Nalar" kemudian menyampaikan penilaiannya bahwa pornografi itu dosa dan dosa merupakan sesuatu yang buruk. Nah, sesuai kodratnya "kehendak" akan memilih yang baik dan menghindari yang buruk. Sehingga ketika informasi dari "nalar" menyatakan bahwa pornografi itu dosa, maka si "kehendak" patutlah dengan segera menghindari yang buruk itu dan memilih yang baik (ie. mengabaikan pornografi). Namun sang pemuda ternyata memutuskan (ingat, memutuskan adalah fungsi dari "kehendak," sementara fungsi "nalar" adalah membuat pertimbangan baik dan buruknya sesuatu) untuk menikmati materi pornografi tersebut. Dia tidak menuruti nalar yang ada dalam dirinya. Dia digerakkan oleh sesuatu yang diluar dirinya. Orang yang digerakkan oleh sesuatu yang lain dari dirinya adalah seseorang yang tidak bebas, seorang budak. Si pemuda menjadi budak dosa.


To be continued

Sambungan ini sekaligus akan membahas mengenai The Problem of Good yang menghantui Atheist. The Problem of Good, seperti yang serign aku katakan, adalah lawan dari The Problem of Evil yang sering dilontarkan kaum atheist kepada theist (kenapa Allah yang baik tidak meniadakann kesengsaraan).

The Problem of Good menyanyakan kepada mereka yang tidak percaya akan Tuhan darimana timbulnya kebaikan? Karena toh tidak semua atheist itu penjahat. Jadi kalau mereka melakukan hal yang baik (berderma, membantu sesama) apa motifnya? Tanpa ada unsur "Tuhan" maka tidak akan ada motif yang tepat untuk kebaikan. Suatu universal ethic yang didasari "suara hati universal" juga akan rancu karena toh banyak nilai-nilai moral yang ngaco di masyarakat dunia (misalnya bangsa Aztec yang mengorek jantung anak muda untuk dijadikan persembahan kepada dewa).


 Bagian kedua dari yang pertama.




1.a. Apa yang dimaksud "bebas?" Yang dimaksud "bebas" adalah "bebas untuk merealisasikan kodrat kita yang sesungguhnya" dengan kata lain "bebas merealisasikan jati diri kita sebagai manusia." Apa maksudnya? Baca terus.

1.b. Begini, "bila seorang manusia tidak diperbolehkan untuk berdoa kepada Allah bebaskah dia?" Jawabannya adalah "tidak" karena berdoa adalah perealisasian kodrat manusia. Tujuan akhir kodrat manusia adalah Allah dan berdoa adalah salah satu upaya untuk menuju kesana. Ketika upaya ini dikekang maka apa yang seharusnya layak dan bebas dilakukan manusia telah terhalangi. Jadi manusia tidak bebas.

1.c. Bagaimana kalau ditanyakan, "bila seorang manusia tidak diperbolehkan untuk terbang seperti burung bebaskah dia?" Jawabannya adalah "ya" karena kodrat manusia bukanlah kodrat burung yang bisa terbang. Pengekangan untuk melakukan apa yang bukan kodratnya bukanlah pengekakangan atas kebebasan. Contoh lain yang mungkin bisa membuat lebih mengerti adalah pengekangan laki-laki untuk hamil. Hamil bukanlah kodrat laki-laki. Karena itu pengekangan untuk hamil bagi laki-laki bukanlah pengekakangan atas kebebasan.

1.d. Oleh karena itu untuk dengan tepat menilai apakah sesuatu itu bisa dikatakan punya kebebasan atau tidak kita pertama-tama harus tahu dulu kodrat sejati dari sesuatu itu.

1.e. Dosa sama sekali bukan bagian dari kodrat kita karena Allah menghendaki agar manusia baik adanya. Karena itulah bila manusia tidak bisa berdosa maka dia tidak bisa dikatakan tidak bebas (sebagaimana manusia yang tidak bisa terbang seperti burung tidak bisa dikatakan tidak bebas, sebagaimana seorang laki-laki yang tidak bisa hamil tidak bisa dikatakan tidak bebas). Justru dosa adalah penghalang kebebasan karena dosa menghalangi kita untuk merealisasikan kodrat kita yang sejati (ingat kodart kita yang sejati adalah kebaikan, sebagaimana Allah menciptakan kita menurut citraNya).

2.a. "Kalau tidak bisa berbuat dosa, apakah kita masih bebas?" Ya. Untuk merealisasikan kodrat kita ada berbagai pilihan-pilihan yang tidak bertentangan dengan kodrat kita. Ketika kita tidak dikekang untuk harus memilih A, B, C (dimana semuanya adalah pilihan yang bukan dosa) maka kita bisa dikatakan bebas.

2.b. Sebagai ilustrasi, untuk mengisi liburannya Ronald punya pilihan: 1) belajar Kitab Suci, 2) membantu paman memperbaiki rumah, 3) latihan sepak bola, 4) menonton video porno, 5) mengajak pacar ke villa dan bertindak seperti suami-istri. Ketiga pilihan pertama adalah pilihan yang tidak bertentangan dengan kodrat Ronald sebagai manusia, sementara kedua pilihan terakhir adalah pilihan yang bertentangan dengan kodrat Ronald. Nah, sekalipun dua pilihan yang terakhir dihilangkan, tetap saja Ronald bisa dikatakan bebas, karena toh dia masih bisa memilih diantara pilihan-pilihan (ie. ketiga pilihan pertama) dan tidak ada kekangan yang membuat Ronald harus memilih no.1 saja atau 2 saja atau 3 saja. Jadi Ronald masih bebas memilih, bebas untuk memilih pilihan-pilihan yang sesuai dengan perealisasian kodratnya.

3.a. Salah satu "kegelapan" yang membutakan manusia modern adalah definisi modern atas "kebebasan" yang salah kaparah. "kebebasan" dianggap sebagai "kebebasan untuk melakukan apa yang dikehendakinya." Padahal, karena concupiscence, sering manusia menghendaki sesuatu yang bertentangan dengan kodratnya.

3.b. Legalisasi aborsi, perkawinan homoseks, pornografi, semuanya adalah produk dari definisi yang salah atas kebebasan.

4. Semua ini sangat penting. Dengan tahu kebenaran ini maka kita bisa melihat dengan jelas mana yang benar dan mana yang salah. Harap di-save dan direnungkan.




PS
    Atheist Delusions - The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies, David Bentley Hart, p 24-25: It should not be forgotten that the concept of freedom that most of us take for granted, and that is arguably modernity's central "idea," has a history. In the more classical understanding of the matter, whether pagan or Christian, true freedom was understood as something inseparable from one's own nature: to be truly free, that is to say, was to be at liberty to realize one's proper "essence" and so flourish as the kind of being one was. For Plato , Aristotle, or for Christian thinkers like Gregory of Nyssa, Augustine, Maximus the Confessor, John Damascus, or Thomas Aquinas, true human freedom is emancipation from whatever constraint us from living the life of rational virtue, or from experiencing the full fruition of our nature; and among the things that constraint us are our own untutored passions, our willful surrender to momentary impulse, our own foolish or wicked choices. In this view of things, we are free when we achieve that end toward which our innermost nature is oriented from the first moment of existance, and whatever separates us from that end--even if it comes from our own will--is a form of bondage. We become free, that is, in something of the same way that (in Michalangelo's image) the "form" is liberated from the marble by the sculptor [note: ingat perkataan Michaelangelo's bahwa ketika dia memahat patung, dia tidak membuat patung, dia sudah melihat patung itu dalam bongkahan batu dan yang dia lakukan cuma membuang bagian-bagian yang tidak perlu]. This means we are free not merely because we can choose, but only when we have chosen well. For to choose poorly, through folly or malice, in a way that thwarts our nature and distorts our proper form, is to enslave ourselves to the transitory, the irrational, the purposeless, the (to be precise) subhuman. To choose well we must ever more clearly see the "sun of the Good" (to use the lovely Platonic metaphor), and to see more clearly we must continue to choose well; and the more we are emancipated from illusion and caprice, the more perfect our vision becomes, and the less there is really to choose. We see and we act in one unified movement of our nature toward God or the Good, and as we progress we find that to turn away from that light is even more manifestly a defect of the mind and will, and ever more difficult to do. Hence Augustine defined the highest state of human freedom not as "being able not to sin" (posse non peccare) but as being "unable to sin" (non posse peccare); a condition that reflects the infinite goodness of God, who, because nothing can hinder Him in the perfect realization of his own nature, is "incapable" of evil and so is infinitely free. That, though, was a very long time ago, and we have journeyed far from there. ... Atheist Delusions - The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies, David Bentley Hart, p 24-25: Tidaklah seharusnya dilupakan bahwa konsep kebebasan, yang oleh kebanyakan orang tidak diambil pusing, dan bisa dikatakan sebagai "gagasan" sentral modernitas, mempunyai sejarah. Dalam pemahaman yang lebih klasik, baik itu pagan atau Kristen, kebebasan sejati dimengerti sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kodrat seseorang: untuk menjadi benar-benar bebas adalah menjadi bebas untuk merealisasikan "esensi" sesungguhnya [dari] seseorang dan dengan demikian berkemabng menjadi suatu mahkluk yang merupakan apa itu dirinya [sendiri]. Bagi Plato, Aristoteles, atau bagi pemkir Kristen seperti Gregory dari Nyssa, Agustinus, Maximus sang Pengaku, Yohanes Damaskus, atau Thomas Aquino, kebebasan manusia sejati adalah lepas dari apapun yang menghambat kita untuk hidup dalam kebajikan rasional, atau dari mengalami pengembangan sepenuhnya dari kodrat kita; dan diantara hal-hal yang menghambat kita adalah nafsu tak-terdidik kita, kepasrahan rela kita kepada dorongan sesaat, pilihanpilihan bodoh atau jahat kita sendiri. Dalam pandangan ini, kita bebas ketika kita mencapai tujuan akhir dimana kodrat kita yang terdalam diorientasikan sejak dari saat pertama keberadaan [kita], dan apapun yang memisahkan kita dari tujuan akhir itubahkan kalau itu berasal dari kehendak kita sendiri-adalah suatu bentuk ikatan. Kita menjadi bebas, yaitu, dalam arti yang sama (dalam bayangan Michaelangelo) sebagaimana suatu "bentuk" dibebaskan dari marmer oleh sang pematung [note: ingat perkataan Michaelangelo's bahwa ketika dia memahat patung, dia tidak membuat patung, dia sudah melihat patung itu dalam bongkahan batu dan yang dia lakukan cuma membuang bagian-bagian yang tidak perlu]. Ini berarti bahwa kita bebas bukn hanya karena kita bisa memilih, tapi hanya ketika kita telah memilih dengan baik. Karena kalau memilih dengan buruk, melalui kesalahan atau kejahatan, sehingga membuang kodrat kita dan mendistorsi bentuk sejati kita, berarti memperbudak diri kita sendiri kepada yang sementara, yang irasional, yang tak bertujuan, yang (lebih tepatnya) sub-manusia. Untuk memilih dengan baik kita harus lebih jelas lagi melihat "matahari dari sang Baik" ([bila kita] menggunakan metafora Platonik yang cantik), dan untuk melihat lebih jelas kita harus terus memilih dengan baik; dan semakin kita lepas dari ilusi dan perubahan pikiran yang impulsif, semakin sempurna jadinya pandangan kita, dan semakin sedikit sebenarnya yang dapat dipilih. Kita melihat dan bertindak dalam satu gerakan terpadu dari kodrat kita menuju Allah atau Sang Baik, dan sejalan kita maju kita sadar bahwa berbalik menjauh dari cahaya adalah sesuatu yang dengan jelas merupakan sebuah kecacatan dari pikiran dan kehendak, dan bahkan lebih sulit untuk dilakukan. Karenanya Agustinus mendefinisikan tingkatan tertinggi dari kebebasan manusia bukan sebagai "mampu untuk tidak berdosa" (posse non peccare) tapi sebagai "tidak mampu untuk berdosa" (non posse peccare); suatu kondisi yang mencerminkan kebaikan tak-terbatas Allah, yang, karena tidak ada sesuatu yang dapat menghalangiNya dalam merealisasikan secara sempurna kodratNya sendiri, menjadi "tidak dapat" jahat dan karenanya bebas tak-terbatas. [Pemahaman] seperti itu [ie. pemahaman akan makna kebebasan sejati] sudah sangat lama sekali, dan kita telah pergi jauh dari [pemahaman tersebut]. ...


PPS
Penulisnya, David Bentley Hart, adalah seorang Protestant. Meskipun bukunya sangat favourable terhadap Katolik tapi ada tulisan-tulisannya yang tidak sesuai dengan iman Katolik. Terutama penyangkalannya terhadap keabadian neraka.


Tulisan Protestant diambil untuk menunjukkan bahwa definisi kebebasan yang benar adalah sesuatu yang juga diakui oleh non-Katolik. Plus dalam tulisannya juga terlihat bahwa definisi itu diakui juga oleh filsuf pagan.

Lanjutan dari "Makna Sejati KEBEBASAN (Part 2)"



1.a. Bangsa-bangsa sekarang, terutama bangsa-bangsa Kristen, telah melepaskan diri dari Gereja. "Separation of Church and State," begitulah doktrin yang dibawa mereka yang menamakan diri Reformer (ie. para Protestant awal).

1.b. Padahal, tanpa adanya Gereja yang mengajarkan kepada kita, melalui wahyu yang terkandung dalam depositum fidei-nya, apa itu kodrat manusia sesungguhnya, apa tujuan akhir dari kodrat itu, dan bagaimana kita bisa sampai ke sana, maka tidak bisa kita menjalani dengan benar "kebebasan" yang diberikan Allah kepada kita. Kita akan salah arah. Melakukan sesuatu yang malahan menghambat kebebasan kita, yaitu dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan akhir kodrat kita (misalnya: bercerai) atau tidak melakukan sesuatu yang mendekatkan kita kepada tujuan akhir kodrat kita (misalnya: menentang UU Pernikahan Homoseks).

1.c. Tanpa Gereja, negara menjadi tidak punya patokan dalam "membatasi" kebebasan modern yang definisinya luas sekali, sebegitu luasnya sampai tindakan terbiadab sekalipun sah-sah saja (akan terlihat dibawah).

2.a. Mengapa ada negara yang me-legalkan aborsi, pernikahan sejenis, pornography (atas nama kebebasan berbicara), euthanasia yang merupakan indakan-tindakan yang tidak pernah terpikirkan untuk dilegalkan ratusan tahun yang lalu? Mengapa?

2.b. Apa sebenarnya dasar mereka untuk me-legalkan hal diatas?

2.c. Dasarnya adalah "kebebasan" sesuai pemahaman modern, yaitu, "manusia bebas melakukan apapun sesuai kehendaknya."

3.a. Tapi negara pun sadar bahwa definisi itu perlu dibatasi supaya tidak muncul tindakan-tindakan ekstrim yang destruktif atas nama kebebasan yang bisa melanggar kebebasan orang lain. Maka diberilah tambahan, "manusia bebas melakukan apapun sesuai kehendaknya tanpa melanggar/menyakiti kebebasan orang lain, dan kalaupun terlanggar/sakit tidak apa-apa asalkan yang dilanggar/disakiti ok-ok saja." Seolah-olah tambahan ini bisa menjadi pengganti dihilangkannya "kodrat" dalam definisi kebebasan karena negara tidak mau dicampuri oleh Gereja yang merupakan satu-satunya institusi yang punya pengetahuan dan otoritas untuk menjabarkan "kodrat manusia."

3.b. Sesuai dengan "batasan" baru tersebut, maka aborsi legal karena tidak menyakiti siapapun. Si ibu memang sakit tapi dia setuju. Si janin sama sekali bukan orang (dimana kesimpulan ini dilakukan dengan berpaling kepada pseudo-science, bukannya kepada Gereja yang lebih paham tentang apa itu "manusia"), jadi sesakit apapun si janin, itu tidak dihitung. Pernikahan sejenis legal karena tidak menyakiti siapapun. Kedua homo suka-suka saja. Pornography legal karena tidak menyakiti siapapun. Artis porno mungkin sakit. tapi mereka mau karena dibayar.

4.a. Namun manusia dan negara modern tidak konsisten dengan definisi kebebasan mereka. Bila mereka konsisten maka seharusnya pecandu narkoba tidak dihukum. Toh itu tubuh-tubuhnya sendiri dan dia tidak menyakiti siapapun kecuali dirinya sendiri (dan dia ok-ok saja dengan tubuhnya disakiti). Bila mereka konsisten maka seharusnya peraturan euthanasia tidak dibuat sangat ketat sehingga orang yang sehat pun boleh mematikan dirinya sendiri. Toh yang dibunuh tubuhnya sendiri dan dia ok-ok saja. Bila mereka konsisten pelacuran seharusnya dilegalkan (seperti Belanda). Toh para pelacur ok-ok saja tubuhnya dipergunakan.

4.b. Untungnya belum sampai ada negara yang benar-benar konsisten dengan definisi kebebasan modern dan jatuh kedalam kebiadaban seperti diatas, atau bahkan lebih biadab lagi (misalnya: upaya organisasi seperti NAMBLA supaya negara menurunkan batasan legal berhubungan seks bagi anak-anak lelaki sehingga mereka bisa disodomi)

4.c. Mengapa? Karena rahmat Allah dan hukum yang dituliskanNya dalam hati manusia masih mencegah nurani manusia untuk benar-benar konsisten dengan definisi kebebasan modern sehingga menjadi benar-benar biadab.

4.d. Tapi tentunya semua itu tinggal menunggu waktu....

5.a. Saat bangsa-bangsa Kristen baru saja melepaskan diri mereka dari Gereja Katolik, tidaklah terpikirkan bahwa kontrasepsi akan ada dimana-mana, tidaklah terpikirkan bahwa orang bisa kawin cerai sampai berkali-kali, tidak terpikirkan bahwa ada pernikahan homo. Tapi bukankah setelah beberapa tahun semua yang tidak terpikirkan telah menjadi kenyataan biasa dihadapan kita di jaman ini?

5.b. Jadi kira kira.... berapa tahun lagi kita melihat pe-legal-an pernikahan manusia-binatang? Berapa tahun lagi kita melihat perkawinan legal pria 50 tahun dengan bocah laki-laki 12 tahun? Berapa tahun lagi kita melihat rumah sakit menawarkan euthanasia di koran-koran bagi gadis-gadis belia yang minder karena kurang cantik dan/atau Body Mass Index-nya lebih dari 18?

5.c. Berapa tahun lagi....?


Catatan:
Idealnya, negara Katolik melarang agama-agama lain dalam teritorinya (Nah, ini akan mengagetkan banyak orang karena tidak sesuai dengan "bayangan mereka" mengenai "agama Kristen yang damai," dan karena "mirip agama Islam"). Namun karena di dunia yang tidak sempurna ini melakukan hal tersebut "lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya" maka kita mentoleransi negara yang mengijinkan bahkan melindungi agama-agama selain Katolik. Asalkan harus dicatat bahwa ini adalah toleransi atas sesuatu yang "jahat" (agama-agama lain adalah jahat karena menjauhkan orang dari Allah).

Dengarkan sang Angelic Doctor:

    SUMMA THEOLOGICA QUESTION 10: OF UNBELIEF IN GENERAL ARTICLE 11: Whether the rites of unbelievers ought to be tolerated? OBJ 1: It would seem that rites of unbelievers ought not to be tolerated. For it is evident that unbelievers sin in observing their rites: and not to prevent a sin, when one can, seems to imply consent therein, as a gloss observes on Romans 1:32: "Not only they that do them, but they also that consent to them that do them." Therefore it is a sin to tolerate their rites. OBJ 2: Further, the rites of the Jews are compared to idolatry, because a gloss on Galatians 5:1, "Be not held again under the yoke of bondage," says: "The bondage of that law was not lighter than that of idolatry." But it would not be allowable for anyone to observe the rites of idolatry, in fact Christian princes at first caused the temples of idols to be closed, and afterwards, to be destroyed, as Augustine relates (De Civitate Dei xviii,54). Therefore it follows that even the rites of Jews ought not to be tolerated. OBJ 3: Further, unbelief is the greatest of sins, as stated above (A3). Now other sins such as adultery, theft and the like, are not tolerated, but are punishable by law. Therefore neither ought the rites of unbelievers to be tolerated. On the contrary, Gregory (Registrum xi, Ep. 15: Decretal, dist. 45, canon Qui sincera) says, speaking of the Jews: "They should be allowed to observe all their feasts, just as hitherto they and their fathers have for ages observed them." I answer that, Human government is derived from the Divine government, and should imitate it. Now although God is all-powerful and supremely good, nevertheless He allows certain evils to take place in the universe, which He might prevent, lest, without them, greater goods might be forfeited, or greater evils ensue. Accordingly in human government also, those who are in authority, rightly tolerate certain evils, lest certain goods be lost, or certain greater evils be incurred: thus Augustine says (De Ordine ii,4): "If you do away with harlots, the world will be convulsed with lust." Hence, though unbelievers sin in their rites, they may be tolerated, either on account of some good that ensues therefrom, or because of some evil avoided. Thus from the fact that the Jews observe their rites, which, of old, foreshadowed the truth of the faith which we hold, there follows this good - that our very enemies bear witness to our faith, and that our faith is represented in a figure, so to speak. For this reason they are tolerated in the observance of their rites. On the other hand, the rites of other unbelievers, which are neither truthful nor profitable are by no means to be tolerated, except perchance in order to avoid an evil, e.g. the scandal or disturbance that might ensue, or some hindrance to the salvation of those who if they were unmolested might gradually be converted to the faith. For this reason the Church, at times, has tolerated the rites even of heretics and pagans, when unbelievers were very numerous. This suffices for the Replies to the Objections. SUMMA THEOLOGICA QUESTION 10: MENGENAI KETIDAKPERCAYAAN SECARA UMUM ARTIKEL 11: Apakah ritus dari orang-orang yang tidak percaya sepatutunya ditoleransi? KEB 1: Tampaknya ritus dari orang-orang yang tidak percaya tidak sepatutnya ditoleransi. Karena telah terbukti bahwa orang-orang yang tidak percaya telah berdosa dalam melakukan ritus mereka; dan dengan tidak mencegah suatu dosa, [padahal] seseorang dapat [mencegahnya], tampaknya menyiratkan persetujuan dalam [tindakan yang tdaik mencegah itu], sebagaimana sebuah catatan menerangkan atas Roma 1:32: "Tidak hanya mereka yang melakukannya, tapi juga mereka yang menyetujui mereka yang melakukannya." Karenanya adalah suatu dosa untuk mentoleransi ritus mereka. KEB 2: Terlebih, ritus para Yahudi dibandingkan dengan penyembahan berhala, karena sebuah catatan di Galatia 5:1, "Janganlah ditahan lagi oleh beban pengekangan," berkata: "Pengekangan dari hukum tersebut tidaklah lebih ringan dari penyembahan berhala." Namun tidaklah diperkenankan bagi siapapun untuk melakukan ritus penyembahan berhala, faktanya pangeran-pangeran Kristen pada awalnya membuat kuil-kuil berhala ditutup, dan setelahnya, menghancurkannya, sebagaimana diceritakan Agustinus (De Civitate Dei xviii,54). Karenanya dapat disimpulkan bahwa ritus para Yahudi pun tidak sepatutnya ditoleransi. KEB 3: Terlebih, ketidakpercayaan adalah dosa terbesar, sebagaimana dinyatakan diatas (A3). Nah, dosa-dosa lain seperti percabulan, pencurian dan yang lainnya, tidak ditoleransi, tapi diberi sanksi oleh hukum. Karenanya ritus para orang yang tidak percaya tidak sepatutnya ditoleransi. Sebaliknya, Gregorius (Registrum xi, Ep. 15: Decretal, dist. 45, canon Qui sincera) berkata, mengenai para Yahudi: "Mereka seharusnya diperkenankan untuk melakukan semua perayaan-perayaan mereka, sebagaimana mereka dan bapa-bapa mereka melakukanya berjaman-jaman yang lalu." Aku menjawab, Pemerintahan manusia diturunkan dari Pemerintahan ilahi, dan harus menirunya. Nah, meskipun Allah Maha Kuasa dan Maha Baik, namun Dia membiarkan kejahatan-kejahatan tertentu terjadi di semesta alam, yang Dia bisa cegah, kalau-kalau, tanpa [kejahatan-kejahatan tersebut], kebaikan yang lebih agung tidak terjadi, atau kejahatan yang lebih besar merebak. Sesuai dengannya [maka] dalam pemerintahan manusia juga, semua yang berada dalam posisi otoritas, dengan tepat mentoleransi kejahatan-kejahatan tertentu, kalau-kalau kebaikan-kebaikan tertentu hilang, atau kejahatan yang lebih besar terjadi: oleh sebab itu Agustinus berkata (De Ordine ii,4): "Bila engkau menghapuskan pelacur, dunia akan diliputi dengan nafsu seksual." Karenanya, meskipun orang-orang yang tidk percaya berdosa dalam melakukan ritus-ritus mereka, mereka boleh ditoleransi, baik dikarenakan suatu kebaikan yang muncul [dari adanya toleransi itu], atau karena suatu kejahatan bisa dihindarkan. Oleh sebab itu dari fakta bahwa para Yahudi melakukan ritus mereka, yang, dijaman kuno, merupakan bayangan awal dari kebenaran iman yang kita pegang, mengikut juga kebaikan ini - [yaitu] bahwa musuh-musuh kita menjadi saksi bagi iman kita, dan bahwa iman kita diwakilkan dalam sebuah gambaran, begitu kiranya. Atas alasan ini mereka ditoleransi dalam melakukan ritus-ritus mereka. Di lain sisi, ritus-ritus orang-orang yang tidak percaya lainnya, yang tidak benar ataupun berguna sama sekali tidak ditoleransi, kecuali untuk menghindari kejahatan, e.g. skandal maupun gangguan yang mungkin timbul, atau suatu hambatan bagi keselamatan atas mereka-mereka yang bila tidak dianiaya mungkin sedikit demi sedikit bertobat kepada iman [yang benar, alias iman Katolik]. Atas alasan ini Gereja, pada suatu waktu, telah mentoleransi ritus-ritus oleh para bidat dan pagan sekalipun, ketika orang-orang yang tidak percaya jumlahnya banyak. Ini cukup bagi Tanggapan atas Keberatan-Keberatan [diatas].

Perhatikan perbedaan antara ritus Yahudi dan orang-orang yang tidak percaya lainnya.

Untuk Yahudi: ditoleransi untuk mencegah kejahatan yang lebih besar DAN supaya kebaikan yang lebih besar bisa terjadi.

Untuk orang-orang yang tidak percaya lain: ditoleransi untuk mencegah kejahatan yang lebih besar SAJA.


 Legal berarti punya status hukum. Pernikahan sejenis yang legal dan punya status hukum berarti pernikahan itu akan mendapatkan fasilitas pajak, social security dan lain-lainnya yang diatur negara bagi pernikahan.


Kalau pernikahan sejanis tidak punya status hukum maka pasanagn Homseks tidak mendapatkan hal-hal tersebut. Nah, kondisi ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu apakah mereka ditoleransi (dibiarkan) atau mereka diberi sanksi hukum (dipenjara). Aku rasa sebaiknya diberi sanksi hukum (entah dipenjara atau didenda [bila mereka melakukan pernikahan]).


Gereja sejak dahulu sampai sekarang selalu menentang segala bentuk blasphemy/penghujatan dan merasa bahwa orang yang melakukan blasphmy diberi sanksi hukuman. Di abad pertangahan ketika negara mau berkejasama dengan Gereja Katolik, segala bentuk blasphemy dihukum keras sampai pada hukuman mati.

Jaman sekarang blasphemy tidak dihukum karena negara sudah tidak patuh kepada Gereja. Nevertheless individu-individu Gereja (baik hierarkhi maupun awam) selalu menuntut agar segala macam blasphemy dipidanakan dan diberi sanksi. Contohnya adalah pelukis Italia yang memamerkan narasi kehidupan Kristus namun tokoh-tokohnya dibuat gambar kodok (ada kodok disalib dengan mahkota duri). Dan banyak kejadian lainnya.


Di jamannya Aquinas, penghujat dihukum mati.

Pemahaman "tidak menyakiti orang lain" ini bahka tidak bisa diterima oleh hukum sekuler. Banyak hal-hal yang tidak "menyakiti orang lain," dalam arti "tidak menimbulkan kesakitan fisik," dikenakan sanksi hukum. Misalnya, di Jerman menyanggah terjadinya Holocaust bisa dikenai hukuman. Padahal tidak ada yang disakiti fisik (yang tersakiti paling adalah mental).

Mengenai hukuman terhadap penghujat di jaman pertengahan. Hal seperti ini dibenarkan karena penghujatan menimbulkan unrest di masyarakat. Sebagaimana di Indonesia pun orang yang dianggap menghujat (atau sekedar sesat) dihukum. Aku ingat tentang kasusnya seorang moslem yang mengajarkan sholat berbahasa Indonesia yang akhirnya dihukum penjara. 


Menurutku untuk pernikahan sejenis, penghujatan, aborsi seharusnya diberi sangsi hukum (penjara, denda, hukuman mati etc).


PS
Mengenai aborsi. Karena aborsi adalah murder, maka menurut St. Thomas pun seharusnya aborsi diberi sanksi hukum.


Penggunaan argumen kodrati tidak bisa berjalan sendiri. Dalam negara-negara sekuler seperti ini maka tidak ada gunanya menggunakan definisi kebebasan yang memasukkan "kodrat." Jadi mestinya, negara sekali lagi mengakui peran Gereja sebagaimana mestinya dan dari situ menggunakan pemahaman kebebasan yang benar lalu baru mementahkan argumen organisasi seperti NAMBLA.

Jadi, kekonyolan NAMBLA sulit untuk dibasmi habis tanpa negara kembali bekerjasama dengan Gereja sebagaimana yang seharusnya, sebagaimana diajarkan Kristus. 


Pernikahan adalah suatu tindakan publik (jadi yang aku maksudkan adalah para Homoseks itu melakukan resepsi, pergi ke catatan sipil etc layaknya pernikahan normal. Kalau mereka sekedar kumpul diam-diam, itu bukan "menikah"). Lain dengan masturbasi, berbohong (btw, cerai juga suatu tindakan publik). Tindakan publik yang dosa, kalau dilakukan, bisa diberi sanksi.

1. Kita tidak tahu apakah ada dambaan atau tidak untuk Papal states. Belum ada survey-nya di Vatikan. Namun ynag patut dicatat adalah sebuah Papal States sama sekali tidak bertentangan dengan iman.

2. Menurutku alasan Gereja tidak bereaksi keras terhadap blasphemy adalah karena: 1) para hierarkhinya kurang sadar parahnya blasphemy karena pikiran modern mereka yang terlalu anthropocentrik (focus on the anthropos [alias manusia]), 2) lebih susah untuk berjuang untuk sanksi bagi penghujat, lebih gampang untuk aborsi, 3) aborsi sudah di-legalkan, blasphemy paling tidak masih bisa dihukum dan diberi sanksi (ya susah untuk diajukan, tapi masih bisa.


Pertama-tama, coba aku address lagi statement yang sebelumnya karena kayaknya lagi-lagi aku tidak teliti membaca:

    ragevize: Dalam hukum manusia (negara), dapat dilihat bahwa St. Aquinas hanya menyebutkan bahwa yang tidak bisa ditolerir adalah diperbolehkannya oleh negara perbuatan-perbuatan yang menyakiti orang lain (dalam masalah kehidupan dan hak milik - "murder, theft, and such like"). Akan tetapi beliau tapi tidak menyebutkan apakah perbuatan-perbuatan yang bertujuan untuk menyakiti Allah (yang sebenarnya merupakan dosa yang paling berat) bisa ditolerir untuk diperbolehkan secara hukum atau tidak.

Aku rasa kesimpulan ini terlalu dini. Saat ini aku belum membaca semua tulisan St. Thomas (dia tidak cuma menulis Summa Theologica saja) sehingga tidak bisa memastikan kebenaran atau kesalahan statement diatas. Aku rasa kamu juga sebaiknya tidak cepat menarik kesimpulan berdasarkan pembacaan kalimat singkat di salah satu Summa.


Lalu mengenai yang diatas. Yang aku maksudkan adalah, negara sekuler saja memberi sanksi (tidak hanya sekedar tak-mentoleransi) perbuatan yang tidak menyakiti orang lain. Apalagi kalau negaranya tidak sekuler dimana standard apa yang bisa diberi sanksi rendah. Dan di abad pertengahan seorang penerjemah Alkitab yang secara sengaja menerjemahkan "jangan berbuat cabul" menjadi "berbuatlah cabul," dihukum mati (di Inggris kalau tidak salah).  



Quote:
Quote:
Mengenai hukuman terhadap penghujat di jaman pertengahan. Hal seperti ini dibenarkan karena penghujatan menimbulkan unrest di masyarakat. Sebagaimana di Indonesia pun orang yang dianggap menghujat (atau sekedar sesat) dihukum. Aku ingat tentang kasusnya seorang moslem yang mengajarkan sholat berbahasa Indonesia yang akhirnya dihukum penjara.

Yang aku pertanyakan, apakah secara iman dan moral, Gereja menganjurkan penegakan kasus yang serupa dengan kejadian umat Islam tersebut? Kalau iya, di mana?


Secara iman dan moral? Masalah sanksi hukum apa yang patut diberikan tidak berkenaan dengan iman dan moral.

Namun ada yang menarik dari kekeliruan-kekeliruan Luther yang didaftar di Exsurge domine-nya Leo X (Bulla yang mengekskomunikasi Martin Luther). salah satu kekeliruan itu adalah: "33. That heretics be burned is against the will of the Spirit."


Quote:

Tentu harus juga diikuti konsekuensi untuk memberi bantuan, dukungan, terhadap ibu yang sedang hamil/keluarga yang bersangkutan seperti yang tertulis dalam Evangelium Vitae, yang entah kenapa sangat jarang dibahas oleh para so-called-conservative. Tidak adanya konsekuensi ini menurutku cukup menggenaskan.


Tentu idealnya diberi bantuan. Tapi sekalipun tidak diberi bantuan pun aborsi harus diberi sanksi yang keras.


Quote:
Cara anda menurutku akan efektif kalau sistem teokrasi medieval dibangkitkan kembali. Tapi aku sendiri tidak menganjurkan hal ini. Aku lebih cenderung "convert people's mind and heart first, then convert the State", rather than "convert the State to convert the people".


Tidak menganjurkan model Holy Roman Empire yang sudah pas dengan ajaran Kristen mengenai hubungan Gereja-Negara? Aku harap bukan itu.

Kalau mengconvert orang dalam arti rakyat, susah. Lebih baik pakai cara kuno, yaitu tebas kepalanya. Cara ini berhasil di berbagai jaman (paling ampuh saat Constantine), yaitu convert pemimpin yang dikagumi masyarakat sehingga masyarakatnya nanti ikut.

Quote:
Bukankah pernikahan sesama jenis tidak mungkin sampai pergi ke catatan sipil dalam negara yang tidak mengakui pernikahan sipil sesama jenis?


Yah, mungkin itu contoh yang terlalu jauh.

Quote:
Lagipula, apakah ada dokumen Gereja, yang setidaknya memiliki tuntutan ketundukan kehendak dan intelek, yang mengharuskan kita umat Katolik untuk mendukung penghukuman fisik persekutuan sesama jenis, berbohong secara umum, perceraian, penghujatan, pembentukan organisasi ateis, dsb?


Mestinya ada. Cuma saat ini aku tidak sempat mencari.


Jangan tercebur dalam pemikiran modern. Hukuman itu adalah sesuatu yang baik, termasuk hukuman fisik. Bahkan hukuman mati.

Kalau kita seperti manusia modern yang pandangannya hanya sebatas kehidupan manusia didunia, maka tentunya kalau seseorang harus menghabiskan waktunya yang terbatas di dunia dengan dihukum, itu merupakan kerugian yang amat sangat. Apalagi kalau seseorang dihukum mati, maka itu rasanya merupakan akhir dunia (karena manusia modern tidak melihat ke afterlife). Tapi sebagai umat beragama yang ingat aka afterlife, semuanya itu bukan sesuatu yang terlalu mengerikan.
 

Mengapa negara tidak menganjurkan negara untuk melarang mereka yang menghujat Allah? Pada masa inkuisisi saja Gereja menyerahkan para bidat kepada negara untuk dihukum. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa Gereja memang menyuruh dan mendesak negara untuk menghukum orang yang menghujat Allah. Terbanyak dan ternyata terjadi pada saat negara masih mau mendengarkan Gereja.


Apa sih alasan untuk bersikeras bahwa Gereja tidak berkeinginan supaya negara tidak menghukum penghujat? Hujatan kepada Allah dalam masyarakat yang agamis itu merupakan suatu kejahatan yang sangat besar dan sangat menimbulkan keresahan. Sehinga patutlah bagi negara untuk menghukum para penghujat. Jangan berpikir dengan latar belakang dunia modern. Apalagi, jangan punya pikiran "itu cara Islam yang ganas, bukan Kristen yang damai [ie. 'damai' yang lebih sesuai dengan pikiran manusia modern]" 


Sudah pernah membaca semua tulisan St. Thomas?

Padahal di Summa Theologica, bagian II dari buku II, pertanyaan 11 artikel 3, St Thomas menjawab secara negatif atas pertanyaan "apakah bidat sepatutnya ditoleransi." Kita menemukan ucapan:




    St. Thomas: On the part of the Church, however, there is mercy which looks to the conversion of the wanderer, wherefore she condemns not at once, but "after the first and second admonition," as the Apostle directs: after that, if he is yet stubborn, the Church no longer hoping for his conversion, looks to the salvation of others, by excommunicating him and separating him from the Church, and furthermore delivers him to the secular tribunal to be exterminated thereby from the world by death. Disisi Gereja, bagaimanapun, ada kerahiman yang memandang kepada pertobatan si orang yang bertualang [ie. bertualang keluar dari iman Katolik], karenanya [Gereja] tidak mengutuk [orang itu] seketika, tapi "setelah pengingatan pertama dan kdua," sebagaimana diarahkan sang Rasul: setelah itu, bila dia masih keras kepala, Gereja tidak lagi mengharap pertobatannya, [tapi] memandang kepada keselamatan yang lain, dengan mengekskomunikasi dia dan memisahkannya dari Gereja, dan terlebih menghantarkan dia kepada pengadilan sekuler untuk dihapuskan dari dunia dengan kematian.

Mirip Islam. Tidak sesuai dengan Kristen modern yang "damai" dan "cinta kasih."


Aku bilang bahwa fakta kalau pecandu dihukum, orang tidak boleh bunuh diri sesuka dirinya, pelacuran dilarang etc adalah sesuatu yang menyalahi konsep kebebasan para liberal. 

Tentu saja pembakaran para bidat itu tidak [selalu] bertentangan dengan keinginan Roh Kudus. Mengapa harus bertentangan? Mereka kan bidat dan memang bisa dihukum (bahkan sampai hukuman mati). Jadi sah-sah saja kalau negara menghukum mereka mati dengan, salah satunya cara, dibakar.

Mengerikan bukan? Seperti Islam.

Ini adalah waktu yang tepat untuk keluar dari pemikiran modern dan merekonsiliasi hal-hal "mengerikan" tersebut dengan ajaran Kristen yang adalah kasih. Jadi, jangan mencari solusi atas tindakan "biadab" itu dengan mengatakan, "ah itu keliru, itu tidak pernah terjadi, Gereja tidak mengajarkan demikian." Lebih tepat adalah mencari tahu mengapa Gereja mengajarkan demikian. 


Protestant itu lebih severe dalam menghukum para bidat (tentu saja bidat menurut mereka). Mereka sangat tidak toleran terhadap orang lain termasuk Gereja Katolik. Coba dibaca di sejarah munculnya Protestantisme di forum ruang pengetahuan dasar (yang belum selesai, kapan nih selesainya…).

Kalau aku menjadi Holy Roman Emperor, maka pada awalanya aku tidak akan meng-ilegal-kan heresy ATAS ALASAN BAHWA KEBIJAKANN ITU LEBIH BANYAK MUDHARATNYA DARIPADA MANFAATNYA. Bukan karena kebijakan itu salah. Mudharat terjadi ketika saat peng-ilegal-an dilakukan di kerajaanku, maka di pemerintahan non-Katolik akan timbul reaksi pembalasan.

Idealnya, kalo kita boleh mengharapkan yang ideal, maka sebagai Kaisar Romawi Kudus aku akan membuat sedemikian rupa sehingga tidak ada Katolik yang berada di pemerintahan Negara non-Katolik. Aku minta mereka pindah ke wilayahku dan menyediakan mereka tempat dan penghidupan di kerajaanku. Setelah tidak ada lagi orang Katolik di negara non-Katolik maka aku akan buat bidat dan murtad (sebagaimana ditulis st. Thomas diatas, Cuma hukumannya tidak perlu mati) sebagai sesuatu yang illegal.

Meskipun begitu orang beragama lain yang bukan bidat atau murtad akan aku toleransi (tidak aku illegalkan) dengan harapan bisa di-convert (sebagaimana juga dikatakan St. Thomas). 


Perbaikan kondisi ibu dan keluarga itu independent terhadap masalah aborsi. Sekalipun aborsi tidak ada kita harus mengusahakannya.

Dan menyebut "tidak memperjuangkan dukungan bagi ibu hamil" adalah suatu yang hypocrisy sama saja dengan mengatakan bahwa "tidak memperjuangkan supaya wanita-wanita yang malas bisa dengan gampang mendapat uang sehingga tidak perlu melacurkan diri” adalah sesuatu yang hypocrisy.

Tidak adanya support bagi ibu dan anak tidak menjustifikasi aborsi. Tidak adanya support bagi mereka-mereka yang kepepet sehingga memilih untuk berdosa tidak menjustifikasi perbuatan dosa. You should know that.

Allah sendirilah yang memberikan rahmat yang cukup bagi manusia untuk tidak berbuat dosa. Jadi ketika manusia akhirnya berbuat jahat, maka dia tidak punya excuse. Sekalipun ada ibu hamil tidak diberi support, atau bahkan oleh pemerintah ditekan, itu juga tetap tidak memberi dia justifikasi untuk aborsi.  


Di Kerajaan surga, tidak ada demokrasi. Bentuk pemerintahan Gereja Katolik pun tidak demokratis.

Kalo Gereja sangat positif akan model demokrasi, maka tentunya Gereja amat sangat positif sekali dengan model Holy Roman Empire mengingat Gerejalah yang menginaugurasi pemerintahan dan raja dari holy roman Empire. Gaya bahasa diplomatis modern yang selalu ngomong positifnya dan menghindari ngomong jeleknya, jangan terlalu dijadikan acuan.

Coba kamu tanya orang-orang di blog Katolik. Mereka akan cenderung ke model non-demokrasi (meskipun mereka mengakui bahwa model apapun sah-sah saja termasuk demokrasi [mengingat ucapannya Leo XIII yang mengatakan seperti itu]).
  

Para misionaris pun metodenya seperti ini termasuk yang ke Indonesia. Memang tidak sedahsyat Constantine karena waktu itu dia sangat disegani dan sangat berkuasa. Tapi kalau sekarang ada orang yang disegani dan sangat berkuasa seperti Constantine dan dia convert, pastilah hasilnya juga dahsyat (meskipun tidak sedahsyat masyarakat pada pemerintahan Constantine)  

Aku bukan orang yang menganjurkan kekerasan per se. Aku adalah orang yang mencari komposisi yang pas antara kelembutan dan kekerasan. Kekerasan sama sekali tidak bisa dihilangkan karena manusia kadang memang bandel. Ini fakta. Manusia modern sekarang ini, menurutku, terlalu lembek.

Melakukan pertobatan cara Constantine dengan menebas kepala (dalam arti menconvert pimpinannya dulu) sama sekali bukan cara keras. 



Apakah kelembutan juga produce something good? Bukankah kemunduran modern ini disebabkan karena kelembekan. Jadi di jaman modern ini kita punya bukti bahwa kelembekan tidak memproduce something good.

Sebagaimana yang aku katakan, harus dicari komposisi yang pas. Tidak bisa terlalu lembut dan terlalu keras. Dan di jaman modern ini kelembekan terlalu merajalela. 



Sekali lagi, negara sekuler yang agnostik pun doesn't buy that kind of argument (ie. hukuman fisik hanya bagi perbuatan yang merugikan fisik). Apalagi Gereja yang tahu bahwa manusia tidak terdiri dari tubuh saja tapi juga jiwa, dimana sebagaimana tubuh bisa sakit [disakiti], jiwa juga bisa sakit [disakiti].

Tindakan Profesor Biologi "siapa itu" yang mendesekrasi ekaristi menurutku sudah patut dihukum mati. Sekalipun tidak ada "manusia" yang tersakiti secara fisik, tapi jiwa orang Katolik yang sejati pasti tercabik-cabik.

Lagipula, mengingat kesatuan tubuh dan jiwa, maka hukuman fisik sekalipun pasti juga mengena ke jiwanya. Jadi orang yang melakukan tindakan yang merugikan jiwa bisa tetap dihukum fisik karena hukuman fisik itu juga akan mempengaruhi jiwanya.

Kalau mau strict menggunakan hukuman non-fisik atas kejahatan non-fisik, maka bisa saja. Pakai saja waterboarding (si pelaku dikondisikan sedemikian rupa sehingga dia merasa dia tenggelam, padahal tidak). Ini bukan siksaan fisik, tapi mental. Masalahnya, masyarakat modern lebih anti terhadap hukuman mental daripada hukuman fisik. 


 Mencuri dan membunuh juga sudah mendapat sangsi ilahi dengan kehilangan rahmat ilahi. Tapi toh negara tetap harus menghukumnya.

Dan bercerai adalah tindakan publik yang bisa dan patut dihukum. Bercerai itu menyakiti suami, istri, anak-anak. Disamping itu juga keluarga si suami istri dan masyarakat. Rusaknya the fabric of society dengan cerai merupakan sesuatu yang merugikan. 


Gereja mengutuk pendapat bahwa ketakutan akan hukuman neraka adalah sesuatu yang jelek. Memang idealnya orang melakukan yang baik dan menghindar yang buruk karena kasih, bukan karena takut hukuman. Tapi sekalipun orang melakukannya karena takut hukuman, itu adalah baik dan hanya bisa terjadi kalau Allah memberinya rahmat untuk takut hukuman (jadi takut akan hukuman merupakan sesuatu yang diluar kemampuan kodrati manusia). Salah satu dari tujuh karunia Roh Kudus adalah takut akan Tuhan. Tuhan memang layak ditakuti.
  

Mengapa physical punishment tidak correct the soul? Bukannya dengan dihukum atas perbuatannya itu (sekalipun dia merasa tidak merasa itu salah) dia menjadi tahu betapa salahnya perbuatan itu. Dalam hukum sekuler yang agnostik saja seseorang yang tidak tahu bahwa perbuatannya yang dilakukan illegal tetap saja dihukum (meskipun tidak seberat orang yang tahu kalau perbuatan itu illegal).

Correction of the soul juga terjadi ketika timbul suatu habbit/kebiasaan yang baik bagi orang yang dikenai hukuman itu. Suatu kebiasaan yang baik akan mendisposisikan orang untuk pada akhirnya sadar akan kekeliruannya. Orang yang sering berdoa, meskipun itu hanya dia lakukan karena rutinitas, akan lebih terdispose untuk menerima rahamt yang lebih.  


Masalah hukuman tidak hanya berkenaan dengan si pelaku saja. Masih ada rasa keadilan masyarakat, karena toh manusia itu adalah satu keluarga besar dimana apa yang dilakukan satu sedikit banyak mempengaruhi yang lain (Adam berdosa membawa kematian, Kristus taat membawa kehidupan).

Belum lagi apa yang aku sebutkan diatas, bahwa hukuman fisik pun bisa terkena kepada jiwanya. (Ataukah kita mau agar pelanggaran non-fisik dihukum dengan waterboarding atau lainnya?)

Baik pihak sekuler apalagi agamis tidak ada yang berpendapat bahwa hukuman fisik hanya untuk kerugian fisik.  


Perbuatan-perbuatan dosa publik seperti cerai pernikahan homoseks, yang tidak mencederai fisik, merupakan perbuatan dosa publik yang menyebabkan skandal dan sangat merugikan tatanan masyarakat.

Perbuatan seperti ini tidak bisa tidak dihukum hanya dengan alasan bahwa "tidak ada fisik yang tersakiti, jadi biarkanlah mereka dihukum di neraka saja." Hal ini tidak mendidik dan malahan akan menjerumuskan mereka ke neraka. Ini bagi pelakunya, belum bagi masyarakatnya.

Ketika masyarakat tidak menghukum secara fisik mereka-mereka ini maka akan timbul de-sensitivity. Akan semakin banyak orang yang menganggap itu ok (toh tidak dihukum negara tapi cuma diancam hukuman kekal yang masih di-awang-awang saja) dan pada akhirnya ditiru. 



Hukuman fisik tidak melulu hukuman mati. Masih ada rajam, cambuk, bahkan hukuman penjara adalah hukuman fisik.

Dan memang dengan argumen bahwa di neraka lebih parah, maka segala siksaan di dunia bisa sah-sah saja. Tapi toh ada Gereja yang bisa menghentikan negara kalau negara menghukum sangat keras. Karena, sekalipun tidak ad siksaan dunia yang bisa melebihi neraka, tapi di jaman PB ini Allah memperpanjang kasihNya. Sayangnya manusia modern punya mental "dikasih hati, minta paru-paru."

Sebenarnya di jaman PB Allah memperpanjang kasihnya. Jadi kalaupun di PL dihukum rajam itu sudah kasih, maka di PB hukumannya diperingan lagi.

Tapi masalahnya ya itu tadi. Orang modern dikasih hati minta paru-paru. Minta cuma pelanggaran fisik yang dihukum fisik Razz.


1. Apakah Gereja meng-anathema sit agen negara yang tidak menghukum pembunuhan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan aborsi? Bila tidak, lalu mengapa peng-anathema sit an Gereja terhadap agen negara yang tidak menghukum blasphemy dijadikan argument yang menunjukkan bahwa Gereja ok-ok saja kalau negara tidak menghukum blasphemer? (ataukah menurutmu negara yang tidak menghukum pembunuh, pencuri, pemerkosa bahkan aborsi akan di-ok-ok saja oleh Gereja?)

2. Aku juga akan bertanya apakah gereja mengharuskan negara menghukum pembunuh, pemerkosa, atau pelaku aborsi? Apakah Gereja pernah menerbitkan ensiklik yang mengharuskan negara untuk menghukum pembunuh, pencuri dan pelaku aborsi (yang berlaku abadi tentunya)? Please give me a quotation. (ini kalau kamu merasa bahwa Gereja mengharuskan negara menghukum pencuri, pembunuh etc).

3. Kalau bergantung terhadap situasi dan kondisi politik untuk melihat kepantasan hukuman bagi blasphemer atau heretic maka dalam situasi dan kondisi politik yang ideal, dimana negara taat pada Gereja, kedua jenis pelanggaran itu patut dihukum bahkan sampai mati kalau perlu.

4. Kalaupun menggunakan definisi Dignitatis Humanae atas kebebasan beragama, maka ketika tercapai kondisi ideal dimana negara mendengarkan Gereja di masyarakat yang katolik, hukuman keras bahkan sampai mati kepada blasphemer dan heretic sah-sah saja. Ini karena dalam kondisi ideal itu tindakan blasphemy dan heresy sangat menyakiti masyarakat dan negara yang katolik sehingga menimbulkan kerasahan yang besar.

5. Kekeliruan paling fatal adalah memisahkan antara fisik dan non-fisik, memisahkan tubuh dan jiwa. Ini terjadi ketika diargumenkan bahwa kejahatan non-fisik seharusnya tidak dihukum fisik (dihukum fisik di dunia).

6. Kesakitan yang dialami oleh umat yang melihat Allah-nya dihujat is something real and in need of retribution, in need of justice (bukan hanya pada saat kiamat). Kesakitan non-fisik ini bisa merambah ke fisik.

7. Begitu pula hukuman fisik bagi si pelaku bisa merambah ke hukuman non-fisik. Jadi kalau memang kita ingin menghukum pelanggaran non-fisik dengan hukuman non-fisik, kita bisa lakukan dengan hukuman fisik (karena nantinya non-fisiknya juga kena). Toh perbuatan non-fisik si pelaku juga mengena kepada fisik orang-orang yang tersakiti.

8. Kondisi sekarang, dimana Gereja tidak bersikeras supaya negara menghukum keras blasphemer karena non-responsiveness dan ignorance dari negara, bukan sesuatu yang patut disyukuri APALAGI kalau dikatakan kondisi ini menunjukkan bahwa Gereja punya pemikiran "kalo yang disakiti Allah, maka tidak perlu dihukum fisik, biar Allah saja yang menghukum" (suatu prinsip yang tidak diimani negara sekuler sekalipun).


PS
9. Pencurian tidak mengakibatkan bodily harm. Namun toh kamu merasa pencurian harus dihukum negara.


 You are proposing bahwa orang bisa berlaku seperti si P.Z. Meyer, si professor Biologi, yang mengambil Ekaristi dan melecehkanNya dengan menusukkan paku berkarat lalu membungnya ke tempat sampah, tidak perlu dihukum. Mengapa? Toh tidak ada yang disakiti. That is absurd!

Kalau seseorang mencemarkan nama baik manusia saja bisa dihukum fisik [ie. Penjara] oleh hukum sekuler, padahal tidak ada yang disakiti. Lalu mengapa seseorang yang menyakiti Allah dan menyakiti seluruh umatNya (fisik maupun non-fisik) dibiarkan saja?

PS

Dan bagaimana dengan kasus pencurian yang tidak mengakibatkan bodily harm? 


Apakah St. Thomas juga mengatakan bahwa pembunuh juga harus dihukum setiap saat? Atau dia mengatakan itu hanya karena hukum negara di jamannya memang menghukum pembunuh sehingga akan aneh dan absurd kalau dia mengatakan bahwa pembunuh tidak perlu dihukum.

Really, ini sedikit memprihatinkan-ku.

Quote:
Ini adalah era di mana Gereja mempromosikan kebebasan beragama (sekali lagi dalam arti sejatinya, aku harap anda mengerti bahwa aku tahu arti sejatinya).


Berdasarkan pengertian sejati kebebasan beragama, kalau tindakan heresy menimbulkan civil disturbance yang besar, maka sah-sah saja bagi si heretic untuk dihukum keras.

Karena itulah, kalau di jaman pertengahan, dimana masyarakatnya Katolik dan mendengarkan Gereja, heretic dibakar mati, maka itu tidak melanggar Dignitatis Humanae. Dan dimasa depan, dalam negara yang Katolik dan rakyatnya Katolik dimana heresy akan menimbulkan social disturbance yang besar, maka sah-sah saja kalau heresy dihukum keras, bahkan sampai mati (dan ini juga tidak bertentangan dengan Dignitatis Humanae). Bahkan harus! Supaya menghilangkan civil disturbance.

Quote:


Pelacuran kurasa berbeda. Setelah aku pelajarin, kebanyakan prostitusi bersifat involuntary, dan menimbulkan eksploitasi satu kaum oleh kaum yang lain (umumnya wanita, para psk, oleh kaum pria, yaitu mucikarinya). Ini hal yang sangat umum dalam prostitusi.

"Kebebesan mengeksploitasi" adalah sebuah oxymoron, sama seperti "kebebasan untuk memperbudak". Itu bukan kebebasan, tapi kekuasaan.


Di-eksploitasi itu nonsense menurut pemikiran modern. Toh mereka punya pilihan untuk consent terhadapnya atau tidak. Kalau tidak mau jadi pelaccur, ya lari saja ke polisi dan minta perlindungan. Ini adalah pemikiran materialisitic modern. Namun yang benar.... adalah fakta bahwa seseorang bisa dikekang secara psikologis sehingga sekalipun fisiknya bebas, tapi orang itu tidak bisa membebaskan dirinya.

Jadi, pernyataanmu yang diatas memang benar. However pernyataan itu tidak cocok atau kontradiktif dengan pemikiran materialisticmu.

Quote:

Keputusan penguasanya mengerikan, ajaran Kristus, maupun Roh Kudus tidak, karena Roh Kudus tidak menginginkan maupun mengingingkan hukuman dengan cara dibakar, Roh Kudus menyerahkan keputusannya kepada sang penguasa, karena Roh Kudus memberi kebebasan kepada para pemimpin untuk menentukan cara-caranya dalam memimpin negaranya.


Di Perjanjian Lama Allah mengeluarkan api dari perut Bumi dan membakar Korah etc. Di jaman Perjanjian Baru, ketika kaisar Julian the Apostate memprakarsai pembangunan kembali Bait Allah Israel, muncul bola-bola api.

Lagipula, dipernyataan yang dikecam Leo X itu adalah mengenai "will" (kehendak) Roh Kudus. Bukan mengenai aksi hukuman itu oleh penguasa yang sah.

Quote:
Saat itu yang menginginkan ialah penguasa politiknya. Dan di jaman ini kalau anda menjadi penguasa dan memutuskan untuk menghukum bakar para bidat, well itu keputusan anda. Aku tidak akan teriak, "itu bertentangan dengan keinginan Roh Kudus!" (Karena yang aku katakan itu justrulah yang bertentangan), aku hanya akan bilang itu bukanlah keputusan yang aku setujui di jaman ini, karena alasan pribadi. Alasan bahwa sekarang itu akan memperkeruh dialog antarumat beragama, dan mengancam kedamaian antarumat beragama, menimbulkan pemberontakan, kebencian, dan lain sebagainya, apalagi di jaman modern ini yang kebanyakan orang itu "lunak hati" dan "takut setengah mati akan hal-hal mengerikan seperti di jaman medieval".


Untuk kalimat yang pertama diatas, di ensiklik itu yang menghendaki (bukan "menginginkan") adalah Roh Kudus. Mengenai pemerintahan negara tidak ditulis.

Lalu, kalau kamu berpikiran bahwa pembakaran bertentangan dengan roh Kudus, bukankah pikiran itu yang dikecam Leo X dalam sebuah ensiklik resmi?

Memang sekarang ini kalau negara Katolik membakar heretic, itu akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Mengingat reaksi balik di negara non-Katolik. Tapi harus dicatat bahwa pembakaran heretic bukanlah sesuatu yang intrinsically evil dan bahkan bisa dikehendaki oleh Roh Kudus.

Quote:
Quote:

Ini adalah waktu yang tepat untuk keluar dari pemikiran modern dan merekonsiliasi hal-hal "mengerikan" tersebut dengan ajaran Kristen yang adalah kasih. Jadi, jangan mencari solusi atas tindakan "biadab" itu dengan mengatakan, "ah itu keliru, itu tidak pernah terjadi, Gereja tidak mengajarkan demikian." Lebih tepat adalah mencari tahu mengapa Gereja mengajarkan demikian.

Demikian bagaimana? Masalahnya, aku tidak pernah tahu ada ajaran Gereja yang mengharuskan institusi negara ikut campur dalam membasmi semua bentuk dosa dalam segala jaman tanpa pengecualian?


Tugas institusi negara, sesuai dengan ajaran Gereja, adalah menjaga tatanan temporal. Oleh karena itu bila memang heresy dan blasphemy menimbulkan gangguan, adalah merupakan kewajiban bagi aparatur untuk menghukum pelaku, bahkan dengan hukuman mati. kalau blasphemy dan heresy menimbulkan civil disturbance, maka hukuman mati bsia diberlakukan kalau perlu. Ini [ie. kewajiabn temporal negara] tidak hanya berlaku di jaman dulu, tapi di sepanjang masa.

Quote:

DeusVult wrote:

ragevize wrote:
Yang aku maksudkan ialah ada kebebasan berpendapat dalam politiknya (bagaimana menghadapi sebuah vice) di sini. Sehingga kalau aku memegang otoritas sipil (di mana dalam demokrasi yang sejati semua rakyat memiliki kekuasaan sampai skala tertentu), aku berhak memilih untuk tidak mengilegalkan heresy, seperti Protestan contohnya, akan tetapi aku tidak berhak secara moral untuk mempromosikan heresy melalui negara.

Di lain belah pihak, anda DV, juga berhak untuk memilih mengilegalkan heresy.

We can have to opposite decision without contradicting our faith and morals. That's politics.


Protestant itu lebih severe dalam menghukum para bidat (tentu saja bidat menurut mereka). Mereka sangat tidak toleran terhadap orang lain termasuk Gereja Katolik. Coba dibaca di sejarah munculnya Protestantisme di forum ruang pengetahuan dasar (yang belum selesai, kapan nih selesainya…).

DV, aku tahu. Seriously, I do know this stuff.



What's your point in here?


Karena diatas kamu mengatakan bahwa "aku berhak untuk tidak meng-ilegal-kan heresy, seperti Protestant." Seakan-akan Protestant tidak meng-ilegal-kan heresy. Tapi tampaknya yang kamu maksudkan adalah heresy seperti Protestantism tidak kamu illegalkan.

Quote:
DeusVult wrote:

Kalau aku menjadi Holy Roman Emperor, maka pada awalanya aku tidak akan meng-ilegal-kan heresy ATAS ALASAN BAHWA KEBIJAKANN ITU LEBIH BANYAK MUDHARATNYA DARIPADA MANFAATNYA. Bukan karena kebijakan itu salah. Mudharat terjadi ketika saat peng-ilegal-an dilakukan di kerajaanku, maka di pemerintahan non-Katolik akan timbul reaksi pembalasan.

Idealnya, kalo kita boleh mengharapkan yang ideal, maka sebagai Kaisar Romawi Kudus aku akan membuat sedemikian rupa sehingga tidak ada Katolik yang berada di pemerintahan Negara non-Katolik. Aku minta mereka pindah ke wilayahku dan menyediakan mereka tempat dan penghidupan di kerajaanku. Setelah tidak ada lagi orang Katolik di negara non-Katolik maka aku akan buat bidat dan murtad (sebagaimana ditulis st. Thomas diatas, Cuma hukumannya tidak perlu mati) sebagai sesuatu yang illegal.


Meskipun begitu orang beragama lain yang bukan bidat atau murtad akan aku toleransi (tidak aku illegalkan) dengan harapan bisa di-convert (sebagaimana juga dikatakan St. Thomas).

Man, aku setuju dengan anda. Sebenarnya ini dunia yang aku dambakan. But hey, the real world isn't an utopia.


It’s suprising bagiku kalau pendapatmu seperti itu.

Bukannya kamu tidak setuju bahwa pelanggaran non-fisik dihukum fisik? Di pemerintahanku aku akan menghukum pelanggaran non-fisik (heresy dan blasphemy) dengan hukuman fisik.

Quote:

Lagipula siapa yang bilang wanita-wanita yang menjadi PSK adalah wanita-wanita malas yang kurang kerjaan? Banyak penelitian yang mengatakan bahwa Prostitusi justru adalah hasil dari penindasan wanita dan ketidaksetaraan ekonomi.


Really? Mengapa mereka menjadi PSK dan tidak mau menjadi penjual jamu atau pegawai toko, jual gorengan di pinggiran jalan, jual pecel, atau pembantu rumah tangga, atau bahkan mengemis? Coba tanya para PSK, apakah mereka pernah mencoba alternatives yang hina dan bayarannya sangat minim tersebut (meskipun alternatives tersebut tidak dosa)?

Quote:
Quote:

Allah sendirilah yang memberikan rahmat yang cukup bagi manusia untuk tidak berbuat dosa. Jadi ketika manusia akhirnya berbuat jahat, maka dia tidak punya excuse. Sekalipun ada ibu hamil tidak diberi support, atau bahkan oleh pemerintah ditekan, itu juga tetap tidak memberi dia justifikasi untuk aborsi.


Aku tahu DV. Tapi yang aku permasalahkan di sini kan bukan hanya ibunya. Tentu ibunya ga punya hak mengambil nyawa orang lain, in any circumstances (nih aku tegaskan). Tapi aku sekali lagi juga ingin menekankan, bahwa kita, sebagai umat ajaran Kasih, yang ngaku-ngaku pro-life ini, whoever, me, you, or John McCain, ga bisa sekadar, oke let's prohibit abortion, and that's it, screw the pregnant woman's condition. That isn't pro-life.


Apakah menurutmu seseorang yang merasa bahwa perbuatan seks maniak yang memperkosa 100 wanita itu harus dihukum tapi dianya tidak mengusahakan supaya si seks maniak sembuh dari ke-seks-maniak-annya adalah seseorang yang berdosa?

Aku merasa bahwa pelacur harus dihukum. Tapi terus terang aku tidak pernah berbuat sesuatu pun terhadap pelacur supaya mereka bebas dari pelacuran. Apakah aku berdosa?

Quote:
Sebenarnya anda membaca kedua bill yang aku dukung ini tidak?
http://en.wikipedia.org/wiki/Sanctity_of_Life_Act
http://en.wikipedia.org/wiki/Pregnant_Women_Support_Act


Tidak. Apa yang ingin kamu tekankan kalau aku membacanya?

Quote:

Sudah kuduga, anda tidak memiliki pengertian yang sama dengan apa yang aku maksudkan dengan "demokrasi".

Gereja Katolik di surga bagiku adalah "demokrasi".

Okay, jangan teriak dulu, aku jelaskan pengertianku dulu.

Dalam arti semua memilih Allah, semua memilih kebijakan Allah, semua memilih secara sukarela untuk hidup dalam kebenaran, nobody bow to anyone else except to God Himself. Nobody rules over anybody else, only God, is the ruler.

That's "democracy", as I understood.

Oleh karena itulah aku setuju dengan anda, mengusahakan sebuah "negara" yang isinya orang-orang Katolik semua.

Dude!


Itu bukan demokrasi. Dan itu bukanlah pemerintahan kerajaan surga. Allah tidak dipilih menjadi raja karena semua orang setuju. Kebijakan Allah tidak dilakukan karena kebijakan itu sesuai dengan kehendak para rakyatnya. Your picture of the Kingdom of God and democracy is totally absurd here. Aku sarankan, kamu email Fr. Z saja. Kamu akan susah percaya kalau yang mencoba meluruskan aku.

Nobody bows to anyone else. Wah prinsip equality revolusi Perancis. Padahal masih ada Bunda Maria, St. Joseph dll. Dalam malaikat saja ada hierarches of angels.

Quote:

DeusVult wrote:

Kalo Gereja sangat positif akan model demokrasi, maka tentunya Gereja amat sangat positif sekali dengan model Holy Roman Empire mengingat Gerejalah yang menginaugurasi pemerintahan dan raja dari holy roman Empire. Gaya bahasa diplomatis modern yang selalu ngomong positifnya dan menghindari ngomong jeleknya, jangan terlalu dijadikan acuan.

Inaugurasi pemerintahan bukan merupakan Sakramen. Bisa banyak alasan lain Gereja tidak melakukan lagi tradisi inaugurasi seperti ini. Sistem Kekaisaran/Kerajaan adalah sistem yang mendominasi di dunia era itu selama ribuan tahun. Butuh waktu ratusan tahun setalah Constantine supaya Gereja menginaugurasi sebuah sistem Kerajaan. Nunggu makan siang di Restoran saja sudah lama rasanya.

Sistem demokrasi baru mulai mendominasi, masih bayi. Siapa yang tahu kalau Gereja akan menginagurasi sebuah negara dengan sistem demokrasi ratusan tahun ke depan?


Menyatakan bahwa inaugurasi bukan merupakan sakramen is completely missing the point. Aku juga tahu kalau inaugurasi bukan sakramen. Yang ingin ditunjukkan adalah ke-positif-an Gereja terhadap sistem Holy Roman Empire.

Demokrasi itu sudah ada sejak dulu. Ini kan pelajaran SD-SMP. Bahkan sebelum Yesus.

Quote:
Yang pasti Gereja jelas jauh lebih menghormati kesahan demokrasi daripada dulu. And It has shown it gradually, and growing.


Sekarang ini, semua rasanya lebih dihormati Gereja. Bahkan pelaku bunuh diri, yang seharusnya tidak diberi pemakaman Gerejawi, bisa diberi dan bahkan dipidatoi dengan sangat positif oleh hierarkhi Gereja. Jaman modern ini mengungkit-ungkit yang jelek itu haram. Semuanya mesti positif. Sekalipun negatif, ya tetap harus dicari-cari positifnya.

Quote:
The duty to respect religious freedom requires that the political community guarantee the Church the space needed to carry out her mission. For her part, the Church has no particular area of competence concerning the structures of the political community: “The Church respects the legitimate autonomy of the democratic order and is not entitled to express preferences for this or that institutional or constitutional solution”,[868] nor does it belong to her to enter into questions of the merit of political programmes, except as concerns their religious or moral implications.


It cuts both way. Dengan menggunakan kutipan itu berarti secara otomatis argumen yang kamu coba bikin bahwa Gereja semain preferable terhadap demokrasi juga hancur, karena toh negara tidak kompeten dalam menilai apakah demokrasi itu baik atau tidak.

Quote:


Well, DV, anda mau memilih model monarki juga tidak apa-apa, itu pendapat anda. Aku punya alasan pribadi mengapa (dan pengertian demokrasi yang sejati bagaimana, bukan seperti yang di misunderstood, contoh Amerika atau Indonesia, bukanlah Demokrasi yang aku maksudkan), sudah aku jelaskan sedikit di atas. Truth is not decided by majority, karena itu absurd. Di surga tidak ada yang namanya politik dan ekonomi. Aku pribadi (terserah orang lain punya pendapat lain juga boleh-boleh saja), menganggap monarki itu bagus kalau Kristus sendiri yang bertahta.


Yah, aku tunggu diskusimu dengan Fr. Z mengenai demokrasi dan kerajaan Allah saja.

Quote:
Aku tidak bilang bahwa Gereja memilih ini dan itu. It's up to us what systems we choose. Kalau mau memperdebatkan monarki dan demokrasi itu kayanya sudah terlalu jauh, aku bisa saja mudah bilang blog-blog Katolik tertentu itu jangan dijadikan acuan, ada komunitas-komunitas Katolik yang non-Monarkis.

Poinku kan mengatakan bahwa Gereja tidak terpaku pada satu sistem saja, do you agree on this or not?


Pasti ada saja komunitas Katolik yang non-monarkis (atau yang pro abortion, atau yang pro woman-priest). Cuma menurut pengamatanku komunitas Katolik yang orthodox lebih cenderung ke monarki, and this should tell us something.

Fakta bahwa Gereja di dunia (bukan Kerajaan Surga) pemerintahannya tidak demokratis juga should tell us something.

But, yes, Gereja tidak masalah dengan model pemerintahan apapun. sebagaimana Gereja pun tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan baik karena takut hukuman itu dosa. Tapi Gereja menganjurkan agar perbuatan baik dilakukan karena kasih. Ada perbedaan antara, yang jahat, yang tidak jahat (alias baik), yang lebih baik dan yang terbaik.

Quote:

DeusVult wrote:


Aku bukan orang yang menganjurkan kekerasan per se. Aku adalah orang yang mencari komposisi yang pas antara kelembutan dan kekerasan. Kekerasan sama sekali tidak bisa dihilangkan karena manusia kadang memang bandel. Ini fakta. Manusia modern sekarang ini, menurutku, terlalu lembek.

Melakukan pertobatan cara Constantine dengan menebas kepala (dalam arti menconvert pimpinannya dulu) sama sekali bukan cara keras.

Aku tidak paham logikanya. Kalau menebas kepala tidak keras, apakah contoh-contoh hal keras yang bisa dilakukan oleh seorang manusia? Ledakkan granat dalam lubang p#nta#nya? Oh iya, maaf, ada juga hal-hal lain yang lebih keras.


Yang aku maksud tebas kepala itu bukan menghukum orang yang tidak mau bertobat dengan ditebas kepalanya. Maksud menebas kepala itu adalah meng-convert si kepala, yaitu Constantine, sehingga seluruh rakyatnya (tubuh Constantine) ikut terkena efeknya.

Quote:

DeusVult wrote:


Apakah kelembutan juga produce something good? Bukankah kemunduran modern ini disebabkan karena kelembekan. Jadi di jaman modern ini kita punya bukti bahwa kelembekan tidak memproduce something good.

Aku cenderung menganggap orang-orang semakin menentang Gereja Katolik, mereka-mereka menciptakan moral sendiri dan lain sebagainya, itu karena sudah gerah dengan sikap keras beberapa penguasa-penguasa Katolik di masa lalu.


Mungkin sebaiknya google "george weigel Paul VI humanae vitae dissent." Nanti akan menemukan artikelnya si Weigel. [edit]Yang aku maksudkan adalah ini: The 'Truce of 1968,' once again - George Weigel[/edit]

What you'll find is bagaimana kelemahan dan kegamangan Paulus VI dalam meng-enforce kedisiplinan Gereja telah mengakibatkan dissent dalam skala yang besar. If one thinks that todays disenting Catholics is caused mainly by Vatican II, one would be wrong. Today's dissent is largely attributed to Paul VI's weak Church governing especially when he issued Humanae Vitae.

Kepausan Paulus VI merupakan bukti bagaimana kelembekan yang out of proportion, yang mirip dengan mentalitas modern, never produce something good.



Quote:

Tidak semua yang agnostik doesn't buy that kind of argument. Agnostik-agnostik yang sifatnya keras, otoriter, mungkin iya. In fact, I don't even care if these authoritarian agnostics, or any authoritarian or violent group of whatever background if that matter, don't buy my "merciful" argument.


You're argument doesn't sell, not because the other party is authoratian or that your argument is merciful. It is because its erroneous.

It is an error to think that physical sanction only apply to action that cause physical harm. Yang punya argument seperti itu adalah John Stuart Mill dan argumen itu dibantah orang-orang dari berbagai kalangan. Because the fact is perbuatan non-fisik juga bisa menimbulkan kerugian yang besar dan bisa berpengaruh terhadap fisik. This is merely common sense.

Quote:
DeusVult wrote:
Tindakan Profesor Biologi "siapa itu" yang mendesekrasi ekaristi menurutku sudah patut dihukum mati. Sekalipun tidak ada "manusia" yang tersakiti secara fisik, tapi jiwa orang Katolik yang sejati pasti tercabik-cabik.

Reply to Objection 1. Audacity seems to refer to the assailing of others. Consequently it belongs to those sins chiefly whereby one's neighbor is injured: and these sins are forbidden by human law, as stated.

....

Reply to Objection 3. The natural law is a participation in us of the eternal law: while human law falls short of the eternal law. Now Augustine says (De Lib. Arb. i, 5): "The law which is framed for the government of states, allows and leaves unpunished many things that are punished by Divine providence. Nor, if this law does not attempt to do everything, is this a reason why it should be blamed for what it does." Wherefore, too, human law does not prohibit everything that is forbidden by the natural law.


"The human law does not prohibit EVERYTHING that is forbidden by the natural law" meaning "The human law prohibit SOMETHING that is forbidden by natural law." Such act by that wicked blasphemer is one that should be prohibited.

And it's a far cry to interpret "injured" as "bodily harm." The whole Catholic world are injured by the atheist' deplorable act.

Coba check definisi "injured" apakah hanya berkenaan dengan "bodily harm."

Btw, di Summa saja St. Thomas menggunakan "injured" untuk "non-bodily harm."

Quote:
Quote:
Lagipula, mengingat kesatuan tubuh dan jiwa, maka hukuman fisik sekalipun pasti juga mengena ke jiwanya. Jadi orang yang melakukan tindakan yang merugikan jiwa bisa tetap dihukum fisik karena hukuman fisik itu juga akan mempengaruhi jiwanya.

They are one, but separate entities. Kalau aku mengotori tubuh anda dengan lumpur, jiwa tidak terkotori dengan lumpur.


Kalau kamu melempar lumpur karena ingin menghina (bukannya main-main) tentu saja jiwa itu terluka.

Quote:

DeusVult wrote:

ragevize wrote:
Hal seperti berbohong, atau bercerai, sudah mendapat hukuman otomatis yang ilahi, yaitu kehilangan rahmat ilahi.


Mencuri dan membunuh juga sudah mendapat sangsi ilahi dengan kehilangan rahmat ilahi. Tapi toh negara tetap harus menghukumnya.

Tentu saja. Karena adalah kewajiban negara untuk menghukum tindakan yang melukai orang lain. Aku kan sudah sebutkan, merugikan kehidupan, dan hak milik, and have I mentioned, direct?


Coba kamu pelajari lagi definsi "injured."

Dan sebenarnya aku juga lalai (klarena itu diatas-atas aku kasih "PS" mgnenai pencurian). Apakah pencurian cause bodily harm? Tidak kan? Makanya dari awal kamu menambahkan "merugikan hak milik" disamping "menyebabkan kerugian fisik." St Thomas saja tidak berkata-apa-apa mengenai kerugian hak milik di Summa yang sering kamu kutip itu. Ini cukup cunning, ragevize.

Quote:
DeusVult wrote:

Dan bercerai adalah tindakan publik yang bisa dan patut dihukum. Bercerai itu menyakiti suami, istri, anak-anak. Disamping itu juga keluarga si suami istri dan masyarakat. Rusaknya the fabric of society dengan cerai merupakan sesuatu yang merugikan.

Orang membunuh orang lain, namanya membunuh, orang yang dibunuh sudah pasti mati. Orang bercerai belum tentu menyakiti suami, istri, dan anak-anak. Mencuri sendiri tidak akan dihukum kalau orang yang dicuri tidak melakukan tuntutan.

What is this "fabric of society"? Can I touch it? Does it have a soul and property?


Kalau sudah masuk dalam kekeliruan tubuh dan jiwa, maka bisa muncul either materialisme atau spiritualisme. Kali ini yang muncul materialismenya.

Tapi, pertama-tama, sejak kapan mencuri itu tidak dihukum kalau tidak ada tuntutan? Mencuri tidak perlu delik aduan.

Lalu, apakah soul bisa di-touch... If it can't does that make it unreal? That it can't be injured?

Kalau satu pasangan melakukan hubungan seks secara terbuka di perkampungan, apakah mereka ini tidak perlu dihukum karena toh tidak ada yang disakiti tubuhnya (bodily harm)?

There goes common sense.

Yang aku maksud "fabric of society" adalah tatanan masyarakat. Perceraian mengacaukan tatanan masyarakat. Perceraian mempengaruhi tidak hanya orang yang bercerai tapi juga masyarakat. This is also common sense.

Quote:

DeusVult wrote:

Ragevize wrote:

Bagiku tetap mengerikan apalagi kalau mereka-mereka yang dihukum tetap memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya benar dan tidak pantas dihukum, tapi tidak melakukannya lagi karena takut dihukum.

Gereja mengutuk pendapat bahwa ketakutan akan hukuman neraka adalah sesuatu yang jelek. Memang idealnya orang melakukan yang baik dan menghindar yang buruk karena kasih, bukan karena takut hukuman. Tapi sekalipun orang melakukannya karena takut hukuman, itu adalah baik dan hanya bisa terjadi kalau Allah memberinya rahmat untuk takut hukuman (jadi takut akan hukuman merupakan sesuatu yang diluar kemampuan kodrati manusia). Salah satu dari tujuh karunia Roh Kudus adalah takut akan Tuhan. Tuhan memang layak ditakuti.

Apakah anda kira, orang Ateis yang dihukum karena keateisannya di jaman ini akan takut akan Tuhan? Takut akan manusia yang menghukum mungkin iya, that's about it.


Ya biarlah mereka takut akan manusia yang bertindak mengikut aturan Tuhan. Dengan begitu dia tidak semakin jauh ke kekeliruannya. Lebih mudah menyembuhkan kanker stadium I daripada stadium 4.

Quote:

DeusVult wrote:

ragevize wrote:
Ini berarti dia sudah dihukum secara duniawi, karena merasa dia tidak melakukan sesuatu yang salah, dihukum pula secara kekal. So what's the point of physical punishment if it doesn't correct the soul, apalagi atas suatu perbuatan imoral yang tidak menyakiti orang lain?


Mengapa physical punishment tidak correct the soul? Bukannya dengan dihukum atas perbuatannya itu (sekalipun dia merasa tidak merasa itu salah) dia menjadi tahu betapa salahnya perbuatan itu.

Dia menjadi tahu betapa salahnya dia tinggal di negara tersebut, bukan perbuatan itu. Malah akan meningkatkan moral relativity, ini jauh lebih memungkinkan.


You know, now that I think about it problem yang kamu ajukan (yaitu physical punishment doesn't correct the soul) juga berlaku bagi pelanggaran yang menyebabkan bodily harm seperti pemukulan, pembunuhan etc. Ada pembunuh dan pemukul yang merasa bahwa apa yang mereka lakukan sudah benar. Lalu apakah dengan begitu para pembunuh dan pencuri juga tidak perlu dihukum fisik?

Jadi masalah correction of the soul adalah indiference dalam argumen antara "hanya perbuatan merugikan fisik yang harus dihukum fisik" Vs "perbuatan yang tidak merugikan fisik pun bisa dihukum fisik."

Quote:
DeusVult wrote:
Dalam hukum sekuler yang agnostik saja seseorang yang tidak tahu bahwa perbuatannya yang dilakukan illegal tetap saja dihukum (meskipun tidak seberat orang yang tahu kalau perbuatan itu illegal).

Aku tidak setuju dengan hukum sekuler beberapa agnostik yang mempunyai pikiran bahwa semua hal-hal yang imoral menurut pandangan mereka harus dihukum atau dibuat ilegal, sama seperti aku tidak setuju bahwa semua hal-hal imoral dalam pandanganku (pandangan Gereja Katolik) harus dihukum atau dilarang melalui hukum manusia.


Anehnya kamu setuju bahwa pencurian dihukum duniawi. Padahal pencurian tidak menyebabkan bodily harm.

Quote:
DeusVult wrote:
Correction of the soul juga terjadi ketika timbul suatu habbit/kebiasaan yang baik bagi orang yang dikenai hukuman itu. Suatu kebiasaan yang baik akan mendisposisikan orang untuk pada akhirnya sadar akan kekeliruannya. Orang yang sering berdoa, meskipun itu hanya dia lakukan karena rutinitas, akan lebih terdispose untuk menerima rahamt yang lebih.


Timbulnya kebiasaan yang baik bagi orang yang dikenai hukuman itu 1 out of 100 cases probably. Most people still deal drugs in prison, in a more amplying violent way. It doesn't work. Orang kecil beda dengan orang dewasa. Jauh lebih probable lebih banyak orang yang bertobat karena dihukum atas dasar melukai orang lain, daripada, well bercerai dengan istrinya misalnya.


Dan apakah timbulnya kebiasaan baik karena "kelembekan" probabilitasnya lebih baik? Apakah si Rudy Guliani yang oleh Uskupnya tetap diberi komuni sekarang tiba-tiba berbalik pro-life?

Kita juga bisa pakai kasus kepausannya Paulus VI. Ketika para Hierarkhi Belanda mengeluarkan Katekismus yang blasphemous itu dan kemudian Paulus VI menasehatinya penuh dengan kelembutan (I can't believe the words used by His Holiness), apakah mereka mencabut katekismus itu, bertobat atau berbaju kabung sambil menuangkan abu di kepala? Nope. Mereka tetap dalam kebandelannya sampai Yohanes Paulus II mengeluarkan tangan besinya. Berkat kekerasan Yohanes Paulus II, kita tidak melihat lagi buku setan itu dimana-mana. Padahal, patut dicatat, dalam aspek-aspek lainnya, Dutch Catechism merupakan katekismus yang terkomprehensife di jaman modern setelah Roman Catechism (alias Katekismus Trent).

Quote:
DeusVult wrote:

ragevize wrote:
Poin hukuman fisik adalah mencegah kerugian fisik yang terjadi pada orang lain.


Masalah hukuman tidak hanya berkenaan dengan si pelaku saja. Masih ada rasa keadilan masyarakat, karena toh manusia itu adalah satu keluarga besar dimana apa yang dilakukan satu sedikit banyak mempengaruhi yang lain (Adam berdosa membawa kematian, Kristus taat membawa kehidupan).

Pertanyaanku mengapa negara?


Kan negara punya tugas untuk menjaga tatanan masyarakat. Dan tatanan masyarakat kan bisa kisruh karena perbuatan non-fisik. This is common sense.

Quote:
DeusVult wrote:

Belum lagi apa yang aku sebutkan diatas, bahwa hukuman fisik pun bisa terkena kepada jiwanya. (Ataukah kita mau agar pelanggaran non-fisik dihukum dengan waterboarding atau lainnya?)

Bisa, tapi jarang. Most of the time it fails.


well, aku tinggal berkata, bisa dan sering (karena toh orang yang dipenjara pasti kondisi mentalnya berbeda dari orang yang tidak dipenjara). Sering berhasilnya (karena setahuku tidak ada orang dipenjara yang kondisi mentalnya sama dengan orang yang tidak dipenjara)

Quote:
DeusVult wrote:
Baik pihak sekuler apalagi agamis tidak ada yang berpendapat bahwa hukuman fisik hanya untuk kerugian fisik.

Tidak ada? Ini adalah pernyataan yang tidak berdasar. Apa anda tidak aware dengan kaum libertarian?
http://en.wikipedia.org/wiki/Non-aggression_principle

Kalau dari pihak agama, I would say most of the time yes. I think chiefly it is used for vices that harms others.


Aku tidak bilang bahwa SEMUA pihak sekuler dan agamis tidak berpendapat bahwa hukuman fisik hanya untuk kerugian fisik. Yang aku maksudkan adalah pendapat bahwa hukuman fisik tidak hanya untuk kerugian fisik tidak hanya dimiliki kaum agamis, tapi juga sekuler.

Lagipula, coba tanya orang yang pro-non-agression-principle itu apakah pencurian yang tidak mengakibatkan kerugian fisik tidak perlu dihukum fisik atau tidak.

Quote:

DeusVult wrote:

Perbuatan-perbuatan dosa publik seperti cerai pernikahan homoseks, yang tidak mencederai fisik, merupakan perbuatan dosa publik yang menyebabkan skandal dan sangat merugikan tatanan masyarakat.

Pernikahan sesama jenis, bukanlah "pernikahan" dalam arti sejati. Pengertian kata "menikah" kaum ketertarikan sesama jenis berbeda dengan umat Katolik. Atas dasar apa kita menghukum mereka, berhubung mereka tidak "menikah" dalam arti sebenarnya? Apakah menurut anda kata "menikah" harus didaftarkan hak cipta dulu? For me this is just unenforcable.

Gereja Katolik tidak mengakui pernikahan di luar Sakramen. Pergi ke upacara "pernikahan" bukanlah sebuah "pernikahan", bahkan pergi ke pernikahan sipil pula bukanlah pernikahan dalam arti sebenarnya. Pernikahan adalah ketika ada Sakramen Katolik titik. Aku bahkan tidak berencana memiliki upacara kalau menikah.


Kita menghukum homoseks yang melakukan pernikahan karena sifat publik dari pernikahan. Ketika dosa dilakukan secara publik maka timbul skandal. Jadi sekalipun Romo tidak akan menolak komuni bagi seseorang yang actually had an abortion, Romo akan menolak politikus yang mensupport abortion. "Lho, bukannya melakukan aborsi lebih parah daripada sekedar mengijinkannya?" Masalahnya adalah dosa si politikus itu sifatnya publik alias diketahui banyak orang, berbeda dengan perempuan yang aborsi yang tidak publik. Jadi ketika seseorang yang diketahui semua orang telah berdosa diberi komuni, maka itu menciptakan skandal.

Quote:
DeusVult wrote:

Perbuatan seperti ini tidak bisa tidak dihukum hanya dengan alasan bahwa "tidak ada fisik yang tersakiti, jadi biarkanlah mereka dihukum di neraka saja." Hal ini tidak mendidik dan malahan akan menjerumuskan mereka ke neraka. Ini bagi pelakunya, belum bagi masyarakatnya.

Perbuatan-perbuatan seperti itu tidak bisa dihukum karena memang tidak bisa ditegakkan, kecuali mungkin sodomi.


kenapa tidak bisa ditegakkan? Kan pernikahan itu publik. Lain lagi kalau mereka melakuka pernikahan clandestine. Tapi para homoseks kan memperjuangkan pernikahan publik, suatu pernikahan yang merupakan statement bagi semua masyarakat akan hubungan "suci" mereka.

Orang barat itu outspoken. Tidak seperti orang timur. Aku ingat di TV seorang gay yang baru keluar dari bathtub dan mencukur bulu kaki (huek!!) kemudian mengatakan bahwa dia membeli album Christina Aquilera, "You're Beautiful," karena ingin membuat "statement."


ragevize wrote:
DeusVult wrote:
Ketika masyarakat tidak menghukum secara fisik mereka-mereka ini maka akan timbul de-sensitivity. Akan semakin banyak orang yang menganggap itu ok (toh tidak dihukum negara tapi cuma diancam hukuman kekal yang masih di-awang-awang saja) dan pada akhirnya ditiru.

Ketika masyarakat menghukum secara fisik mereka-mereka ini (dengan alasan-alasan yang tidak bisa diterima dan dinalar oleh mereka) maka akan timbul over-sensitivity. Akan semakin banyak orang yang membenci dan memberontak, thus breaking into greater evil (Menciptakan oposisi-oposisi yang sama militantnya, liatlah secara nyata kaum liberal modern AS masa kini, the more we pressure the more they resist, with probably even greater power).


Itu kan mengasumsikan bahwa alasan-alasannya tidak bisa diterima dan di nalar. Sementara faktanya alasannya bisa diterima dan dinalar karena pelarangan pernikahan sejenis merupakan bagian dari natural law. Jadi masalahnya sebenarnya mereka "tidak mau" bukannya "tidak bisa."

Quote:

Oleh karena itu aku setuju dengan anda, kalau negaranya kecil dan mayoritasnya umat Katolik. It's almost impossible dalam negara yang besar dengan masyarakatnya terbelah fifty fifty secular and religious. I argue that these kind of harsh laws of the past contributed greatly in creating this kind of society.


Jadi menurutmu kita-kita tidak seharusnya menentang pernikahan sejenis di Amerika? (padahal sudah sukses di California). Kita-kita juga seharusnya tidak memperjuangkan supaya P.Z. Meyer dihukum? Kita-kita juga seharusnya tidak memperjuangkan supaya Sinead O' Connor dihukum karena di acara The Tonight Show-nya Jay Leno, dia merobek foto Paus Yohanes Paulus II? Toh mereka "tidak menyakiti [fisik]."


Dan sebenarnya, yang menjadi tumbuh suburnya masyarakat sekuler bukanlah hukum yang keras. Toh hukum yang keras berlangsung berabad-abad tanpa bertumbuh subur.

One of the great error in the modern age, which you've seem to embrace, adalah memandang masyarakat pertengahan sebagai masyarakat yang bodoh, tidak bisa berpikir bebas, ditekan ketakutan etc etc. Sekarang ini banyak sekali buku yang menunjukkan sebaliknya. Buku David Bentley Hart yang aku sebut adalah salah satunya. The only reason masyarakat pertengahan di-portray-kan secara demikian adalah untuk menjustifikasi lahirnya pemikiran modern (sebagaimana upaya Protestantisme yang menjelek-jelekkan Gereja Katolik merupakan upaya penjustifikasian eksistensi mereka).

Carilah tahu alasan yang sebenarnya dari apa yang really create this kind of society. (you can ask me later if you're so curious).

Quote:
Memang tidak separah kebencian masyarakat umumnya pada Nazi, tapi ada kebencian yang serupa pada Katolisisme (mereka menganggap kita intolerant, bigot, diskriminatif, dsb). Who knows that the Nazi might have done some good thing, but all we know is that they are pure evil, karena cara-cara mereka yang mengerikan dalam menghukum (death camp, gas chamber, human experiments, etc).


Ah ya, Katolisme itu intolerant, bigot dan diskriminatif. Label-label standard orang modern terhadap jaman pertengahan. It's a textbook case.

Dan aku tidak habis pikir bagaimana kamu bisa membandingkan hal itu dengan Nazi.

Quote:
Karena menghukum sesuatu yang tidak melukai orang lain orang malah bisa membeci preceptsnya. This is a greater evil. The more evil we have in common understanding in a society, by all means more punishment, dan itu, sekali lagi jika anda berhasil mengusir semua orang-orang non-Katolik dari negara anda. Good luck.


Negara sekuler menghukum fisik orang yang melukai non-fisik. Dan itu tidak mengusir rakyat mereka. Amerika contohnya.

Quote:
Quote:

Sebenarnya di jaman PB Allah memperpanjang kasihnya. Jadi kalaupun di PL dihukum rajam itu sudah kasih, maka di PB hukumannya diperingan lagi.

Tapi masalahnya ya itu tadi. Orang modern dikasih hati minta paru-paru. Minta cuma pelanggaran fisik yang dihukum fisik Razz.

Apa aku tidak boleh melihatnya begini? PL hukum rajam itu kasih tapi yang masih belum penuh, di PB Tuhan Yesus memenuhi teladan kasihnya dengan memberhentikan sebuah peristiwa hukuman rajam.


Kasih yang masih belum penuh.... hmmm apa ya itu maksudnya.


Anyway, Yesus tidak memberhentikan hukuman rajam. He simply said kalau ada orang yang tidak berdosa silahkan melempar batu yang pertama. Kalau dia megnhentikan rajam, maka tidak seharusnya dia mempersilahkan orang yang tidak berdosa untuk merajam (gimana kalau ibuNya ada di situ?).Dan Dia sendiri tidak merajam, meskipun tidak berdosa, karena Dia tidak datang untuk menghukum, remember