Senin, 27 September 2010

Sejarah Koran oleh Luthfi Assyaukanie.

Luthfi Assyaukanie 



Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya
(ma' nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan
baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari
seribu empat ratus tahun silam.

Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai
bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah
penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang
delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik,
dan rekayasa.

Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah
sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia: ini didasarkan
pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak denga percetakan modern
dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu,
Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik
penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran
menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan
beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan
resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya
standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa
Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh
keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat
beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena
upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan
pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir
itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan
oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur
kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan
standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi
bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai
proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan
efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan
ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal
yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab
suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan
memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya
(kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi
membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan
menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah
Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran,
yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud
(entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh
mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran
(qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu
sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan
hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak
beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah,
dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.Edisi
Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini
muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat
dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa
itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau
kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu
standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan "Mushaf Uthmani,"
pada masa itu telah beredar puluhan --kalau buka ratusan-- mushaf yang
dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki
mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal
bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.

Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf
Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan
menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn
Mas'ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda
dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah
al-An'am, tapi surahYunus.

Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah
sebagai bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang menganggap surah "penting"
itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak
memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di
kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau
ia hanya merupakan "kata pengantar" saja yang esensinya bukanlah bagian
dari kitab suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai
bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama
lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah
"ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi
popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.

Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: "siapa saja yang tidak memulai
sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka
pekerjaannya menjadi sia-sia."

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa
dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin
al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut:
"pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman
melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]."
Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka'b, sahabat Nabi yang
lain, yang didalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf
Uthman, yakni surah al-Khal' dan al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan
agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan
dimusnahkan.

Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi
sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku
'ulum al-Qur'an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru
dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa
puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar
dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori
mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak
dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan
yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian
bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan
ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya
mushaf-mushaf klasik itu.

Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan
hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H),
al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi
Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H)
sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam
karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf
al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10
mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi'in) sahabat Nabi.


Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa
mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak
sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah
mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada
otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas
itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya
varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu
umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan
kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian
muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat
(scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari') dari kata a-l-m
bisa dibaca yu'allimu, tu'allimu, atau nu'allimu atau juga menjadi
na'lamu, ta' lamu atau bi'ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna,
dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf
Ibn Mas'ud berulangkali menggunakan kata "arsyidna"
ketimbang "ihdina" (keduanya berarti "tunjuki kami") yang biasa
didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, "man" sebagai ganti "alladhi"
(keduanya berarti "siapa"). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan
arti yang berbeda, seperti "al-talaq" menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas),
"fas'au" menjadi "famdhu" (Ibn Mas'ud), "linuhyiya" menjadi "linunsyira"
(Talhah), dan sebagainya.


Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322
H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn
Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah
membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid
memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi
(Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah,
dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis
Nabi yang mengatakan bahwa "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf."

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya
telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih
sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang
sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn
Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena
adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn
Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah
membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini
diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14
varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu
varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan.
Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain,
tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku
studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.

***
Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya
paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif,
merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara
bebas.

Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau
dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan
masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya, dengan
menafsirkan hadis Nabi "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf" dengan cara
menafsirkan "huruf" sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan
seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa.

Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan
bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan
untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar.
Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.

Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi),
lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol
saja untuk menunjukkan "banyak," ini lebih parah lagi, karena menyangkut
kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.

Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang
berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa)
merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak
terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab,
karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang
sangat dinamis.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah
hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada
Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma'nan)? Seperti saya katakan
di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan
oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang
pembentukan ortodoksi Islam.

Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses
"copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi,
mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah
manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk
menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.

Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada
masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk
membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya
secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf
kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci—selalu bersifat
"repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya
adalah dengan membebaskannya.

Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan
menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang
bias diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat
pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan
melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.



Luthfi Assyaukanie.
Dosen Sejarah Pemikiran Islam
Universitas Paramadina
Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar