Sabtu, 25 September 2010

Sejarah (singkat) Injil Perjanjian Baru

Saya ingin berbagi pandangan, menurut Agustinus Gianto,
Profesor Filologi Semit dan Linguistik pada Pontifical Biblical Institute, Roma (Tempo, 24-30 Apr. 2006 hal. 

120)


Setelah Yesus wafat, para murid pertama mulai mengumpulkan ingatan mengenai sang guru. Bahan2 itu dibawa ke dalam ibadat, dikisahkan berulangkali, dikumpulkan dan diajarkan kepada generasi berikutnya.

Begitulah pada abad pertama mulai dikenal kisah-kisah mengenai Yesus.
Juga ada kumpulan perkataanNya.

Injil Markus, yang selesai disusun menjelang tahun 70, mengisahkan karya Yesus di Galilea dan perjalanannya ke Yerusalem tempat Ia wafat disalib. Di dalam untaian kisah ini juga termasuk kata-kata serta pengajaranNya

Injil Matius, yang ditulis sepuluhan tahun kemudian, memakai Injil Markus sebagai bahan dasar dan menyuntingnyakembali dengan menyertakan bahan yang kiranya belum sempat dipakai Markus, yakni kumpulan kata-kata Yesus.

Begitu juga yang dilakukan penulis Injil Lukas kurang-lebih pada waktu yang bersamaan. Tetapi ia menyampaikan bahan Markus dalam kerangka yang berbeda dengan yang dipakai Matius.

Injil Yohanes baru mulai disusun pada akhir abad ke-1 dengan bahan-bahan yang melengkapi ketiga Injil sebelumnya.

Pada abad ke-2,
disamping keempat Injil tersebut, mulai bermunculan pelbagai tulisan lain mengenai Yesus dan para muridnya.

Baru pada abad ke-4
terbentuklah kumpulan yang sekarang dikenal. Proses ini berjalan bukan atas dasar perencanaan atau rekayasa, bukan pula digariskan pemimpin Gereja. Dalam proses itu, macam-macam komunitas memilih kumpulan kitab keramatnya masing-masing. namun, lambat laun himpunan itu makin seragam baik dari segi isi maupun coraknya. Salah satu faktor keseragaman ini ialah adanya saling keterbukaan dan kerja sama di antara komunitas-komunitas yang akhirnya menjadi Gereja. Demikianlah kesatuan lebih dirasakan daripada perbedaan.

Proses seperti itu ada kemiripannya dengan sebuah pertunjukan di lapangan terbuka. Terbentuk lingkaran penonton, bisa melebar, bisa menciut, atau jadi arena tetap. Semuanya melihat atraksi yang sama. Bayangkan bila satu ketika ada orang yang menyelonong masuk mau ikut serta bermain. Ia akan disisihkan bahkan oleh para penonton sendiri.
Tapi bisa jadi juga ia diterima dan menjadi bagian dari atraksi.
Begitu pula proses terkumpulnya kitab-kitab keramat pada abad-abad awal tadi. Yang ditampilkan dalam teks-teks itu sama, yakni Yesus dan para muridnya (yang kemudian dikenal sebagai Injil-Injil dalam Alkitab) dan surat-surat para pemerhati komunitas (Paulus, dan lain-lain).
Bila ada unsur baru, maka akan diserap ke dalam kumpulan atau tetap berada di luar.


Setelah empat abad pertama,
makin mantaplah kumpulan kitab-kitab Perjanjian Baru. Juga makin jelaslah tulisan-tulisan mana saja yang tidak termasuk di dalamnya.

Sekarang mengenai teks tentang Yudas. Bagaimana menafsirkannya?

Sekitar tahun 180, Santo Ireneus, seorang Bapa Gereja, menyebutkan dalam Adversus Haereses ("Melawan Kaum Bidah") bahwa ada Injil "menurut Yudas" di kalangan gnostik yang dikenal sebagai kaum "Kain" (tokoh pujaan mereka ialah Kain, anak Adam). Mereka beranggapan bahwa tokoh-tokoh baik dalam Alkitab seperti Nuh dan Musa bukan orang-orang yang sungguh "benar", sedangkan para tokoh negatif seperti Kain (pembunuh Habel, adiknya) dan lain-lainnya mereka pandang sebagai orang "benar".
Orang-orang ini mereka yakini telah mendapat pengetahuan khusus atau gnosis yang tak terjangkau umum.
Menurut kalangan gnostik itu, orang banyak keliru karena tidak memperoleh pencerahan khusus.
Pendapat seperti itu akhirnya tersingkir karena tidak menjawab kebutuhan batin orang banyak.
Sama seperti publik yang bubar karena tidak lagi tertarik.

Pada 1970-an mulai dibicarakan adanya naskah papirus dalam bahasa Kopt (bahasa di kalangan Kristen di Mesir) dan isinya mengingatkan pada amatan Ireneus tadi. Bagian-bagian yang terbaca memuat kumpulan kata-kata Yesus dan beberapa wejangan khusus bagi Yudas.
Murid yang menurut Injil-Injil bersikap kemaruk dan tidak setia itu di sini muncul sebagai tokoh yang memperoleh pencerahan khusus dari sang guru. Tindakannya menyerahkan Yesus kepada lawan-lawannya ditampilkan sebagai yang diajarkan guru itu sendiri,.

Memang, dalam alam pikiran gnostik, lazim dibedakan dunia kasar dan dunia halus.
Badan termasuk kasar, dan pengetahuan batin adalah yang halus tetapi yang terpenjara di badan yang kasar. maka, pembebasan dari badan itu keselamatan yang sesungguhnya. Itulah anggapan dasar teks tentang Yudas tadi. Maka, bila badan Yesus dihancurkan, yang halus akan terbebas. Karena itu, Yudas ditampilkan sebagai murid yang dikasihi dan berlaku "benar". Murid-murid yang lain tidak mencapai pengetahuan khusus seperti itu.

Sejak awal naskah itu tidak dipakai di kalangan orang kebanyakan. Bahkan para pendukung naskah itu memaksudkannya sebagai tulisan yang berisi pengetahuan khusus yang tidak diperuntukkan bagi semua orang. Ajarannya bersifat esoterik, untuk sebagian kecil orang-orang pilihan. Amat berbeda dengan Alkitab, yang tampil bagi khalayak umum dan sama sekali tidak dirahasiakan bagi sekelompok kecil.

Memang ada tingkat-tingkat kedalamannya, misalnya Injil Markus dimaksudkan bagi para pemula, sedangkan Injil Matius dan Lukas lebih cocok bagi mereka yang sudah mulai masuk, sedangkan Injil Yohanes bagi yang telah matang kerohaniannya, tapi tetap terbuka bagi siapa saja.

Kelompok teks seperti naskah tentang Yudas ini lazimnya disebut tulisan apokrif, artinya, "dirahasiakan" bagi kalangan sendiri.
Lawannya ialah kita-kitab yang diwahyukan, yang dibeberkan bagi semua orang. Ironinya, tulisan2 apokrif itu biasanya tidak mendalam dan isinya hanya berlaku bagi kelompok kecil itu sendiri. Perkara yang digarap di situ biasanya juga tidak menyangkut berbagai pertanyaan mendasar dalam kehidupan manusia, tetapi terlalu terlalu terpancang pada kebutuhan individu tertentu.

Ada satu segi lain yang tampaknya hanya menyangkut cita rasa, tapi sebetulnya besar peranannya di dalam proses masuk atau tidaknya ke dalam kumpulan Alkitab Perjanjian Baru. Misalnya, dalam "Injil Yudas" dijumpai beberapa kali Yesus tertawa atau menertawakan suatu anggapan, seperti terdapat dalam pelbagai tulisan gnostik lain. Perilaku Yesus ini tidak didapati dalam Injil-Injil. Bukan karena Yesus dulu tak pernah tertawa, tapi perilaku ini tidak termasuk ciri-ciri Yesus Injili dan bila ditampilkan malah menjadi alasan untuk menganggap tulisan yang bersangkutan kurang berbobot.

begitulah ada macam-macam tindakan Yesus dalam pelbagai tulisan apokrif yang amat manusiawi, tapi tak termasuk perangkat pemahaman orang-orang yang dulu mengenalnya dari dekat.

Tokoh Yesus dalam teks-teks Alkitab bersambut gayung dengan iman kepercayaan nyata dalam diri orang beriman.
Tampilan yang tidak mengena akan luput masuk pustaka hidup Gereja dan bukan bagian pusaka iman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar